Friday, April 20, 2012

setengah botol minuman keras

Udara Jakarta yang ku hirup masihlah sama. Sama seperti ketika suatu masa yang merah, yang kental akan gerombolan emosi muda yang datang dengan mudahnya. Suatu masa ketika rasa bahagia, kecewa, tangis air mata menjadi suatu racikan sempurna untuk melengkapi lembaran kisah muda. Ketika lembut cinta pertama kali membelai sanubari. Ketika kemunafikan menjadi makanan sehari-hari untuk menyembunyikan kebusukan hati. Dan masih tetap sama ketika pertama kalinya aku meninggalkan semua suasana ibu kota untuk waktu yang lama.


Ku coba untuk menutup sejenak pandangan akan dinginnya angin yang menyapa muka sembari menahan asap tembakau yang meresap ke dalam dada. Ku hirup semakin dalam hingga ku rasakan hangatnya tiap mili nikotin yang secara berkala melemahkan tubuh ini. Ku hempaskan warna putih udara yang keluar dari tenggorokan saat nafas ini telah sampai pada batasnya. Putih, pucat, berarak, seraya bersorak.