Wednesday, December 12, 2012

Angin Barat


Seperti kata pepatah lama, “hidup itu seperti roda, kadang diatas kadang dibawah”. Dan hal tersebut berlaku pada setiap kehidupan manusia. Sialnya, tidak terkecuali dengan ku. Di suatu masa aku merasa terbang tinggi dihempas sang awan, mencicipi rasa manis sang pelangi, mengenyam semua warna sang senja dan mencumbui segenap gemintang. Pada suatu masa setelahnya aku seperti terpendam dalam perut bumi dengan segala rasa sakit yang tiba tanpa diminta, dengan segala gelap dan sesak yang serta merta dihadiahkan kepadaku. Selamat datang di hidup.

surya kencana

                Ketika jaya itu datang, segala impian bisa ku wujudkan dengan sekejap mata. Segala kebahagiaan bisa ku beli meski hanya semu. Tak ada yang menghalangi, tak ada yang merintangi, tak ada yang berani. Lepas tawaku, lepas hasratku, lepas hidupku, lepas selepas-lepasnya. Aku punya segalanya, aku punya gelap, aku punya terang. Dan aku melupakan hal yang seharusnya ku kejar, hal yang nyata bukan keinginan semu.
          

Pelajaran dari Pendakian


    Bagi sebagian orang kegiatan outdoor seperti mendaki gunung, rock climbing, rafting, dan lain sebagainya adalah kegiatan yang tidak wajar, ekstrem, atau bahkan kegiatan yang membuang-buang waktu, uang , atau tenaga. Tapi bagi para penggiatnya, kegiatan ini bagai oasis di tengah gurun rutinitas yang siap menjanjikan dorongan adrenalin yang menjalar disetiap urat urat nadi yang haus akan tantangan dan ketegangan yang menghasilkan kepuasan tersendiri dalam sanubari. Jika kita adalah seorang pengambil hikmah yang ulung, maka kita akan menemukan begitu banyak esensi kehidupan dalam kegiatan outdoor, katakanlah mendaki gunung.


                Sebelum mendaki gunung seseorang mau tidak mau harus melakukan perencanaan yang matang yang meliputi perizinan, peralatan, logistik, dan lain sebagainya agar pendakian berjalan dengan lancar. Semua resiko harus diperhitungkan dan mempersiapkan strategi untuk mengatasinya. Sama halnya didalam kehidupan, sadar atau tidak kita pasti punya rencana unuk hidup kita. Mungkin sebagian orang menyebutnya target, atau bahkan cita-cita. Apapun namanya alam bawah sadar kita mendorong raga untuk melakukan hal yang dapat mewujudkan rencana hidup kita.

Friday, September 28, 2012

jembatan gantung


Waktu menunjukan jam 12 siang dan tiba tiba hand phone blackberry berkoar. Setelah gua tekan tombol bergambar telepon berwarna hijau, di seberang line telepon bersuara, “ron, ke kantor, lu besok pagi brangkat ke bali ya!!”. Desssss, hati berasa campur aduk. Terbayang betapa akan lama gua meninggalkan sosok yang mulai memberi warna pink di tengah-tengah warna hitam di hidup gua. Sosok yang mulai menyelamatkan gua dari mati rasa.

Segera gua cari namanya di phone book dan kembali menekan tombol bergambar telepon berwarna hijau. “tuuuuut….tuuuuut…., maaf nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan”. Spontan jari-jari gua mengetik kata – kata melalui keypad qwerty itu. “ (namanya disensor), hari ini bisa ketemu ga? Mungkin bakalan lama lagi kita ketemu setelah hari ini.”. Detik, menit, jam berlalu tanpa ada getaran di gadget berwarna hitam milik gua. Kalap, mobil dinyalakan dan segera meninggalkan bokap yang lagi rapat di kecamatan. Gas diinjak, bagai pembalap F1, melesat cepat di tengah kemacetan Jakarta. 2 motor, 3 mobil, dan 5 gerobak hamper tercium mobil gua. Sampai rumah, mobil berganti motor, berharap mobilisasi segera terlaksana dengan cepat.

Saturday, September 22, 2012

ketika

Wahai laut, aku ingin selalu membelainya.
Seperti ombakmu yang tak hentinya membelai sang pantai
Wahai malam, aku ingin selalu di sampingnya.
Seperti rembulanmu yang selalu menyertai sang bintang di kegelapan.
wahai langit, aku ingin menjadi penyejuk hatinya.
Seperti hujanmu yang ikhlas membasahi panasnya bumi.
Wahai pelangi, aku ingin selalu memebahagiakannya.
Seperti warnamu yang membahgiakan semesta seusai badai reda
Wahai gunung, aku ingin selalu menjaganya.
Seperti lebat rimbamu menjaga eidelweiss di lembah surya kencana.

Sunday, August 26, 2012

Ruang keluarga itu adalah gunung gede (part 1)


Keluarga, suatu kesatuan jiwa yang mengikat. Mungkin karena kesamaan darah sehingga sebuah perasaan saling memiliki yang sangat besar sangat nyaman berada didalamnya. Keluarga, merupakan oasis kasih sayang bagi jiwa-jiwa dan logika-logika yang haus akibat terik kerontang kehidupan. Menjadi penerang dibalik rinai tangis air mata, atau menjadi sejuk embun yang sepertinya enggan beranjak meninggalkan sang pagi. Dan tak ada kata-kata terindah dan terpuitis yang mampu menggambarkan perasaan ini akan keluarga selain “aku sayang keluargaku”.

Berkumpul bersama keluarga bagiku dan mungkin bagi sebagian kalian merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan, dimana caci dan puji bersanding menjadi kebahagiaan, si tua membagi pengalaman hidupnya ke si muda. Si muda menceritakan apa yang dia dapat kepada si tua. Saling  mengisi yang membuat rasa utuh.
           

Sunday, June 24, 2012

gunung kendang, cekungan yang garang

Tetesan air hasil konversi uap yang membentuk awan tiba-tiba menyergap di sekeliling perkebunan teh di wilayah desa Tarumajaya kabupaten Bandung sesaat setelah kami menyantap hidangan siang itu. Dengan sigap kami menyiapkan segala peralatan antisipasi atas efek yang bisa ditimbulkan oleh tetesan air tersebut. Gianto memakai ponco ala tentara yang hendak masuk rimba, aku memasang cover bag avtech, Diah nyaman dengan raincoat birunya, sementara Lisna menantang sang cuaca dengan pakaian lapangan berbadge Astacala kebanggaannya.
                         
Perlahan kami menambah ketinggian dihari itu hingga kami memutuskan untuk ngecamp di ketinggian sekitar 2000 mdpl, lebih beberapa meter dari target yang telah disepakati. Sesuai kesepakatan, materi kali ini adalah bivak perorangan. Ya, kami berada di kawasan gunung papandayan, lebih tepatnya punggungan gunung kendang ini dalam rangka latihan Gunung Hutan (GH). Tak sulit bagi mereka mendirikan bivak dari ponco, sebuah ingatan seperti terputar kembali di benak mereka. Suatu masa ketika mereka meniti langkah untuk menjadi keluarga besar Astacala.
                   

Friday, April 20, 2012

setengah botol minuman keras

Udara Jakarta yang ku hirup masihlah sama. Sama seperti ketika suatu masa yang merah, yang kental akan gerombolan emosi muda yang datang dengan mudahnya. Suatu masa ketika rasa bahagia, kecewa, tangis air mata menjadi suatu racikan sempurna untuk melengkapi lembaran kisah muda. Ketika lembut cinta pertama kali membelai sanubari. Ketika kemunafikan menjadi makanan sehari-hari untuk menyembunyikan kebusukan hati. Dan masih tetap sama ketika pertama kalinya aku meninggalkan semua suasana ibu kota untuk waktu yang lama.


Ku coba untuk menutup sejenak pandangan akan dinginnya angin yang menyapa muka sembari menahan asap tembakau yang meresap ke dalam dada. Ku hirup semakin dalam hingga ku rasakan hangatnya tiap mili nikotin yang secara berkala melemahkan tubuh ini. Ku hempaskan warna putih udara yang keluar dari tenggorokan saat nafas ini telah sampai pada batasnya. Putih, pucat, berarak, seraya bersorak.         

Thursday, January 19, 2012

cara mengatasi galau ala Muronialism

"Galau", menjadi kata yang sudah lazim dikatakan anak muda jaman sekarang ini (walaupun berkesan ababil). Rasanya kata tersebut mengena untuk menggambarkan sebuah kondisi dimanakeadaan psikologis sedang bimbang. Tapi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, galau memiliki arti sebuah kondisi bimbang, berat otak (wow), kalut, bingung, ataupun nanar (beda tipis lah). Entah siapa yang mempopulerkan istilah galau hingga booming seperti sekarang ini. 


Menurut analisa pak Mario Teguh, galau terjadi karena ketidakpastian tentang apa yang sedang atau akan terjadi. Hal tersebut menimbulkan sebuah ketakutan jika nanti harapan yang kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan. ketakutan tersebut berimbas pada berkurangnya gairah hidup kita (singkat atau lama). Efek yang ditimbulkan adalah rasa cemas yang berlebih, tidak semangat, sampai menangispun bisa terjadi akibat galau.