Pagi
itu, sekitar pukul 06.00, matahari masih enggan untuk terbit di bumi
Parahyangan. Tapi aku, dengkulku, dan sepedaku sudah siap untuk memutar roda.
Hari itu adalah hari minggu, dan aku berencana akan gowes ke jalan Ir. H. Djuanda, Dago, untuk sekedar refreshing dan menikmati suasana “car
free day” serta sedikit olahraga santai. Tanpa banyak persiapan, pedalpun ku
kayuh dari tempat tinggal ku di Bojongsoang dengan semangatnya. Kadang pelan,
kencang, ganti gigi, sampai ganti gaya pun dilakukan untuk mencoba-coba settingan yang pas untuk “si mia”, sepeda ku.
![]() |
cekungan bandung dan langit birunya |
Meskipun
hari minggu, jalanan tetap ramai dengan kendaraan bermotor yang notabene
menggunakan bahan bakar minyak untuk bergerak. Meter demi meter jalan raya
dilalui. Semakin dekat jarak menuju kawasan Dago, sepeda yang “terjun” ke
jalanan semakin ramai. Mereka susul menyusul menuju tempat yang sama. Mereka
mengayuh sepeda dengan bermacam jenis sepeda, gaya, dan segala motivasinya. Aku
melihat banyak sekali pesepeda berkumpul di kawasan militer dekat BIP (lupa
namanya). Sepertinya mereka sedang mengadakan acara gowes bareng. Disela – sela keramaian aku melihat banyak sekali
pria dan wanita yang usianya tidak muda lagi dengan senyumnya dan sepeda
kebanggaan mereka.
Tidak
sampai 45 menit aku telah sampai di kawasan “car free day”, Dago. Suasana di sana belum terlalu ramai seperti
beberapa bulan lalu aku kesana. Mungkin karena masih terlalu pagi. Enggan untuk
menepi, akupun terus mengayuh hingga ke perempatan Dago yang ada Mc. D-nya, ujung dari kawasan “car free day”. Aku memutuskan untuk
terus mengayuh, menjajal kekuatanku untuk gowes
di tanjakan. Rupanya sepeda yang menuju ke arah dago pakar ramai. Mereka
terus saja menanjak. Penasaran dengan tujuan mereka, akupun membuntuti. Semakin
ke atas, pesepeda yang gowes makin
ramai, sambung menyambung.
“Pada
mau kemana nih?” aku membatin lagi.
Rasa
penasaranku ini harus terbayar lunas hari ini juga. Pede dengan kondisi fisik ku, aku terus menanjak. Rupanya mereka
menuju ke arah TAHURA (Taman Hutan Rakyat). Jalan menuju TAHURA menanjak tajam.
Aku yang notabene newbie dalam
kegiatan ini kewalahan juga nggenjot “si
mia”. Mungkin karena menang umur, aku masih sanggup mengikuti pesepeda-pesepeda
lain yang kebanyakan ”bapa – bapa”.
Sampailah
di gerbang TAHURA. Di area parkirnya terlihat beberapa pedagang dan puluhan
pesepeda sedang beristirahat. Aku berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang.
“Lah
ko masih ada yang ke atas?” aku heran melihat masih banyak sepeda yang
melanjutkan gowes melewati pintu
masuk TAHURA.
Setelah
nafas kembali teratur, aku melanjutkan mengayuh mengikuti sepeda-sepeda yang
masih nanjak. Tak jauh dari gerbang
TAHURA, sepeda – sepeda itu berbelok kekanan di pertigaan pertama. Aku terus
mengikuti. Makin jauh, kualitas aspal makin memburuk. Sempai di beberapa titk,
medan jalan yang terbentang adalah aspal yang sudah terkelupas, sehingga
menyerupai jalanan yang hanya di bangun menggunakan kerikil.
![]() |
view warung tanpa nama |
Entah
setelah berapa lama aku mengayuh, aku melihat sebuah warung kecil yang ramai
akan goweser yang beristirahat.
Warung itu seperti sengaja didirikan untuk para goweser karena di sampingnya terdapat bambu melintang untuk
menyangkutkan jok sepeda. Akupun mampir di warung itu. warung tanpa nama itu
memiliki pemandangan yang indah. Landscap
cekungan Bandung dengan latar pegunungan (mungkin dataran tinggi kawasan
Ciwidey) dan awan tipis yang member sentuhan alami nan dingin. Ku nikmati
lukisan Tuhan itu ditemani pisang goreng dan teh manis hangat.
“Pa’,
kalau ke atas lagi, kemana ya pa’? Itu masih banyak yang gowes ke atas.” Tanyaku kepada seorang pengunjung. Aku pensaran
melihat masih banyak Pesepeda yang mengayuh menanjak lagi.
“ooo…,
di atas ada warung kaya gini lagi sep. Ngga
jauh ko, tinggal nanjak sekali lagi.” Kata seorang pengunjung yang aku tanya
tadi.
Setelah
menghabiskan segelas teh manis dan 4 pisang goreng, aku lanjut mengayuh sepeda
ketempat yang orang tadi katakan. Tanjakan langsung menghadang ketika aku kembali
ke jalanan. Di tengah-tengah tanjakan aku berhenti, tak kuat mengambil oksigen
lebih banyak dari udara sekitar. Setelah nafas normal kembali, aku melanjutkan nggenjot “si mia”. Tak jauh dari
tanjakan itu jalan kembali datar. Dari kejauhan aku melihat riuh rendah sepeda
yang sedang ngetem di sebuah warung.
![]() |
si mia |
Sampailah aku di sebuah warung bertuliskan “Warung
Bandrek”. Warung itu lebih besar dari warung yang pertama tadi. Tempat untuk beristirahat
bagi para goweser-nya pun lebih luwas
berupa kursi-kursu dan meja-meja tanpa atap di bawah rindangnya pepohonan
dengan tiang-tiang bambu horizontal untuk memarkir sepeda. Menunya pun lebih
variatif dari warung sebelumnya. Ada gorengan pisang, tape, ketan, bala-bala,
lauk pauk, aneka jus, kopi, dan lain-lainnya. Tapi yang menjadi maskot di
tempat itu adalah bandrek susunya. Rupanya
tempat tersebut biasa di jadikan untuk end
point bagi pesepeda yang ingin bertrekking
ringan menyalurkan hobby.
Sedang asik
meminum bandrek, aku melihat 3 sepeda berlalu dari “Warung Bandrek” menanjak,
entah mau kemana. Aku bergegas untuk mengikuti. Cepat sekali mereka mengayuh,
akupun tertinggal. Mereka segera menghilang. Aku memutuskan untuk pulang karena
memang aku tidak tahu jalan untuk memeruskan, minim informasi, newbie, dan cukup lelah hari ini.
Akhirnya sekitar pukul 11.00 siang aku sampai di Sekretariat Astacal ITTELKOM,
Mapala kampusku, untuk istirahat sebelum balik ke kostan.
Keesokan harinya
aku mencari informasi dan data mengenai perjalananku kemarin kepada “mbah
Google”. Aku mendapatka fakta bahwa aku telah menempuh jarak sekitar 40 km pada
perjalanan kemarin dan jika aku terus lurus mengikuti 3 orang pesepeda yang gowes terus setelah “Warung Bandrek”,
maka aku akan sampai di “Warung Daweung”, Caringin Tilu. Sepertinya beberapa
bulan kedepan aku berencana gowes dengan
jarak yang lebih jauh lagi. Bandung – Jakarta mungkin? Who knows?
No comments:
Post a Comment