Wednesday, June 5, 2013

Nggenjot Si Mia


                Pagi itu, sekitar pukul 06.00, matahari masih enggan untuk terbit di bumi Parahyangan. Tapi aku, dengkulku, dan sepedaku sudah siap untuk memutar roda. Hari itu adalah hari minggu, dan aku berencana akan gowes ke jalan Ir. H. Djuanda, Dago, untuk sekedar refreshing dan menikmati suasana  car free day” serta sedikit olahraga santai. Tanpa banyak persiapan, pedalpun ku kayuh dari tempat tinggal ku di Bojongsoang dengan semangatnya. Kadang pelan, kencang, ganti gigi, sampai ganti gaya pun dilakukan untuk mencoba-coba settingan yang pas untuk “si mia”, sepeda ku.

cekungan bandung dan langit birunya


            
            Meskipun hari minggu, jalanan tetap ramai dengan kendaraan bermotor yang notabene menggunakan bahan bakar minyak untuk bergerak. Meter demi meter jalan raya dilalui. Semakin dekat jarak menuju kawasan Dago, sepeda yang “terjun” ke jalanan semakin ramai. Mereka susul menyusul menuju tempat yang sama. Mereka mengayuh sepeda dengan bermacam jenis sepeda, gaya, dan segala motivasinya. Aku melihat banyak sekali pesepeda berkumpul di kawasan militer dekat BIP (lupa namanya). Sepertinya mereka sedang mengadakan acara gowes bareng. Disela – sela keramaian aku melihat banyak sekali pria dan wanita yang usianya tidak muda lagi dengan senyumnya dan sepeda kebanggaan mereka.
               
              “Kayanya penikmat olahraga ini kebanyakan orang tua nih, hihihi…” aku membatin.


                
              Tidak sampai 45 menit aku telah sampai di kawasan “car free day”, Dago. Suasana di sana belum terlalu ramai seperti beberapa bulan lalu aku kesana. Mungkin karena masih terlalu pagi. Enggan untuk menepi, akupun terus mengayuh hingga ke perempatan Dago yang ada Mc. D-nya, ujung dari kawasan “car free day”. Aku memutuskan untuk terus mengayuh, menjajal kekuatanku untuk gowes di tanjakan. Rupanya sepeda yang menuju ke arah dago pakar ramai. Mereka terus saja menanjak. Penasaran dengan tujuan mereka, akupun membuntuti. Semakin ke atas, pesepeda yang gowes makin ramai, sambung menyambung.
               
               “Pada mau kemana nih?” aku membatin lagi.
                
           Rasa penasaranku ini harus terbayar lunas hari ini juga. Pede dengan kondisi fisik ku, aku terus menanjak. Rupanya mereka menuju ke arah TAHURA (Taman Hutan Rakyat). Jalan menuju TAHURA menanjak tajam. Aku yang notabene newbie dalam kegiatan ini kewalahan juga nggenjot “si mia”. Mungkin karena menang umur, aku masih sanggup mengikuti pesepeda-pesepeda lain yang kebanyakan ”bapa – bapa”.
                 
           Sampailah di gerbang TAHURA. Di area parkirnya terlihat beberapa pedagang dan puluhan pesepeda sedang beristirahat. Aku berhenti sejenak untuk menarik nafas panjang.
               
              “Lah ko masih ada yang ke atas?” aku heran melihat masih banyak sepeda yang melanjutkan gowes melewati pintu masuk TAHURA.
               
                  Setelah nafas kembali teratur, aku melanjutkan mengayuh mengikuti sepeda-sepeda yang masih nanjak. Tak jauh dari gerbang TAHURA, sepeda – sepeda itu berbelok kekanan di pertigaan pertama. Aku terus mengikuti. Makin jauh, kualitas aspal makin memburuk. Sempai di beberapa titk, medan jalan yang terbentang adalah aspal yang sudah terkelupas, sehingga menyerupai jalanan yang hanya di bangun menggunakan kerikil.
               
view warung tanpa nama
             
               Entah setelah berapa lama aku mengayuh, aku melihat sebuah warung kecil yang ramai akan goweser yang beristirahat. Warung itu seperti sengaja didirikan untuk para goweser karena di sampingnya terdapat bambu melintang untuk menyangkutkan jok sepeda. Akupun mampir di warung itu. warung tanpa nama itu memiliki pemandangan yang indah. Landscap cekungan Bandung dengan latar pegunungan (mungkin dataran tinggi kawasan Ciwidey) dan awan tipis yang member sentuhan alami nan dingin. Ku nikmati lukisan Tuhan itu ditemani pisang goreng dan teh manis hangat.
                 
                 “Pa’, kalau ke atas lagi, kemana ya pa’? Itu masih banyak yang gowes ke atas.” Tanyaku kepada seorang pengunjung. Aku pensaran melihat masih banyak Pesepeda yang mengayuh menanjak lagi.
                
             “ooo…, di atas ada warung kaya gini lagi sep. Ngga jauh ko, tinggal nanjak sekali lagi.” Kata seorang pengunjung yang aku tanya tadi.
             
             Setelah menghabiskan segelas teh manis dan 4 pisang goreng, aku lanjut mengayuh sepeda ketempat yang orang tadi katakan. Tanjakan langsung menghadang ketika aku kembali ke jalanan. Di tengah-tengah tanjakan aku berhenti, tak kuat mengambil oksigen lebih banyak dari udara sekitar. Setelah nafas normal kembali, aku melanjutkan nggenjot “si mia”. Tak jauh dari tanjakan itu jalan kembali datar. Dari kejauhan aku melihat riuh rendah sepeda yang sedang ngetem di sebuah warung. 

si mia


Sampailah  aku di sebuah warung bertuliskan “Warung Bandrek”. Warung itu lebih besar dari warung yang pertama tadi. Tempat untuk beristirahat bagi para goweser-nya pun lebih luwas berupa kursi-kursu dan meja-meja tanpa atap di bawah rindangnya pepohonan dengan tiang-tiang bambu horizontal untuk memarkir sepeda. Menunya pun lebih variatif dari warung sebelumnya. Ada gorengan pisang, tape, ketan, bala-bala, lauk pauk, aneka jus, kopi, dan lain-lainnya. Tapi yang menjadi maskot di tempat itu adalah bandrek susunya.  Rupanya tempat tersebut biasa di jadikan untuk end point bagi pesepeda yang ingin bertrekking ringan menyalurkan hobby.





Sedang asik meminum bandrek, aku melihat 3 sepeda berlalu dari “Warung Bandrek” menanjak, entah mau kemana. Aku bergegas untuk mengikuti. Cepat sekali mereka mengayuh, akupun tertinggal. Mereka segera menghilang. Aku memutuskan untuk pulang karena memang aku tidak tahu jalan untuk memeruskan, minim informasi, newbie, dan cukup lelah hari ini. Akhirnya sekitar pukul 11.00 siang aku sampai di Sekretariat Astacal ITTELKOM, Mapala kampusku, untuk istirahat sebelum balik ke kostan.

Keesokan harinya aku mencari informasi dan data mengenai perjalananku kemarin kepada “mbah Google”. Aku mendapatka fakta bahwa aku telah menempuh jarak sekitar 40 km pada perjalanan kemarin dan jika aku terus lurus mengikuti 3 orang pesepeda yang gowes terus setelah “Warung Bandrek”, maka aku akan sampai di “Warung Daweung”, Caringin Tilu. Sepertinya beberapa bulan kedepan aku berencana gowes dengan jarak yang lebih jauh lagi. Bandung – Jakarta mungkin? Who knows?

               
               

No comments:

Post a Comment