Pikiranku menjelajah pergi ke masa tiga tahun lalu ketika aku berada diposisi yang sama seperti mereka sekarang. Dulu, bersama tim ku mengatur rencana operasional, belanja logistik, packing, berangkat untuk belajar, menyusuri rimba tanpa rambu, nyasar, mendaki, menuruni lembah, tertawa, khawatir, berpeluh, dan banyak hal lain yang notabene keluar dari zona aman. Sensasi itu akan kembali kurasakan dengan posisi yang berbeda saat ini. Aku, sebagai anggota penuh Astacala akan memposisikan diri sebagai pendamping pendidikan lanjut gunung hutan angkatan Angin Puncak yang merupakan dua angkatan setelah angkatanku, Lembah Purnama.
“Amin mana cok?” Tanya Aji kepada Agus yang sedari pagi sudah bercokol di sekre.
“Tau!” jawab Agus singkat.
“Tu dia si toprak” Rendy menyelak pembicaraan Agus dan Aji.
“Sorry coy, baru bangun gua” Amin langsung sadar jika sedari tadi dia sedang di perbincangkan oleh ketiga teman-temannya.
“Kalo dah siap langsung cabut aja” kata Oca yang merupakan pendamping tim ini bersamaku
Kami berangkat pukul 09.30 WSA (waktu sekre Astacala) telat setengah jam dari ROP yang telah dibuat. Dengan tas-tas ransel 80 liter yang tinggi dan seragam hitam Astacala, kami gegap menyusuri jalan palasari untuk mencari transportasi yang akan membawa kami kepintu petualangan. Dengan style orang berangkat perang, tak ayal kamipun menjadi pusat perhatian setiap orang yang melihat. Ransel masih berat,keringat sebiji jagungpun terus menetes membasahi wajah-wajah yang haus tantangan.
Pos Perhutani |
Satu setengah jam kami lalui di angkot yang kami sewa, akhirnya kami tiba di desa cikawalu, titik start yang telah ditentukan. Dari desa ini terpampang jelas gunung puntang dari sisi utaranya yang gersang dengan kontur terjal dan punggungan tipis. Sekilas mirip jalur puncak Rinjani dari Plawangan Sembalun. Kami beristirahat di sebuah pos milik perhutani yang tak berpenghuni untuk istirahat sejenak. Di pos itu kami bersama-sama menyantap makan siang yang telah kami beli di jalan.