Tuesday, October 25, 2011

Hutan Gunung Puntang



                Pikiranku menjelajah pergi ke masa tiga tahun lalu ketika aku berada diposisi yang sama seperti mereka sekarang. Dulu, bersama tim ku mengatur rencana operasional, belanja logistik, packing, berangkat untuk belajar, menyusuri rimba tanpa rambu, nyasar, mendaki, menuruni lembah, tertawa, khawatir, berpeluh, dan banyak hal lain yang notabene keluar dari zona aman. Sensasi itu akan kembali kurasakan dengan posisi yang berbeda saat ini. Aku, sebagai anggota penuh Astacala akan memposisikan diri sebagai pendamping pendidikan lanjut gunung hutan angkatan Angin Puncak yang merupakan dua angkatan setelah angkatanku, Lembah Purnama.
                  “Amin mana cok?” Tanya Aji kepada Agus yang sedari pagi sudah bercokol di sekre.
                  “Tau!” jawab Agus singkat.
                  “Tu dia si toprak” Rendy menyelak pembicaraan Agus dan Aji.
               “Sorry coy, baru bangun gua” Amin langsung sadar jika sedari tadi dia sedang di perbincangkan oleh ketiga teman-temannya.
                  “Kalo dah siap langsung cabut aja” kata Oca yang merupakan pendamping tim ini bersamaku
                Kami berangkat pukul 09.30 WSA (waktu sekre Astacala) telat setengah jam dari ROP yang telah dibuat. Dengan tas-tas ransel 80 liter yang tinggi dan seragam hitam Astacala, kami gegap menyusuri jalan palasari untuk mencari transportasi yang akan membawa kami kepintu petualangan. Dengan style orang berangkat perang, tak ayal kamipun menjadi pusat perhatian setiap orang yang melihat. Ransel masih berat,keringat sebiji jagungpun terus menetes membasahi wajah-wajah yang haus tantangan.

Pos Perhutani
                Satu setengah jam kami lalui di angkot yang kami sewa, akhirnya kami tiba di desa cikawalu, titik start yang telah ditentukan. Dari desa ini terpampang jelas gunung puntang dari sisi utaranya yang gersang dengan kontur terjal dan punggungan tipis. Sekilas mirip jalur puncak Rinjani dari Plawangan Sembalun. Kami beristirahat di sebuah pos milik perhutani yang tak berpenghuni untuk istirahat sejenak. Di pos itu kami bersama-sama menyantap makan siang yang telah kami beli di jalan.

Thursday, October 20, 2011

semestapun turut tersenyum

                Malam ini, malam dengan suasana yang kurasa tak wajar. Jalan di sukabirus hingar bingar. Para mahasiswa sibuk berlalu lalang dengan berbagai kepentingan. Ada yang mengendarai motor, berjalan kaki, naik sepeda, membawa kertas-kertas, mencari makan, sendiri, berdua, berkelompok, berwajah sumringah, pucat, kesal, tertawa, terdiam, terpaku, dan mungkin menangis dalam tawanya. Para pedagang menjajakan dagangannya seperti biasa. Ya, seperti malam-malam sebelumnya ketika aku menelusurinya bersama seseorang. Seseorang yang mau tak mau harus aku lepas seperti burung gereja yang harus aku lepas agar dia bahagia terbang menyusuri kota yang sesak akan kepenatan.
                Aku merasa seperti manusia planet yang hijrah ke suatu galaxy asing dengan cakrawalanya yang merah maroon. Sunyi, walau sekitar mencitrakan suasana keramaian khas kawasan padat di sudut kota. Senyap, walau angin menciptakan deru yang riuh. Aku terdiam di sebuah rumah besar berpagar hitam dan bertwmbok warna biru dengan struktur bangunannya yang bertingkat. Didepannya terdapat dua tangga yang melingkar ke atas. Di samping kanannya berdiri sebuah mini market bertuliskan blue house.

Monday, October 17, 2011

definisi teman versi muronialism

                Menurut bapak Wright Mills, seseorang yang namanya ga sengaja nemu di Mbah Google, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk hidup. Teori ini ga salah, absolutely benar. Kita semua (khususnya remaja) pasti ga bisa lepas dari yang namanya teman. Bagi kita, teman merupakan kehidupan kita. Teman bisa menjadi keluarga, motivator… apa lagi ya, apapun lah. Tapi hati-hati boy, bisa jadi teman lo itu membawa lo ke jurang gelap yang dalam (pake gaya lebay). Bingung ya? Intinya gue mau nulis tentang apa yang gue rasain dan pengalaman-pengalaman tentang teman. Menurut gue teman itu adalah:

1.       Tempat sampah.
                Teman bisa menjadi wadah semua keluh kesah kita. Dari marah, senang, sedih, takut, dan lainnya, kita bisa muncratin semua ke teman. Saat gue bete, mereka tau apa yang bisa bikin gue senyum lagi. Saat gue seneng, mereka selalu jadi bahan cipratan emosi. Yang paling berasa saat gue lagi sedih, saat gue butuh banget tempat buat ngluarin unek-unek, saat gue ga bisa ngangkat kepala tegak, mereka ga pernah absen dideket gue. Dengerin omongan gue yang itu-itu aja, ngasih saran, baik yang bener maupun yang sadis, sampe kalo udah ga ketolongan mereka ngajak gue seneng-seneng. Pokoknya gimana caranya biar gue ketawa lagi

Tuesday, October 11, 2011

awan rinjani part 2

pemandangan dari puncak rinjani
                “hiduplah…Indonesia raya…” lagu Indonesia Raya pertama di puncak Rinjani hari itu, telah selesai dinyanyikan. Mengalun bersama angin puncak yang berhembus kencang meniup kami. Mentari meninggi memperlihatkan keperkasaannya. Mentransfer panas untuk siapa saja yang tak terlindungi, termasuk kami. Tak ada pohon rindang untuk berteduh. Hanya ada batu dan pasir yang berasal dari bongkahan batu-batu yang pecah. Tak ada air yang melintas untuk membasahi tenggorokan. Hanya air di botol minum kami yang tiris tak lama lagi. Semua itu mengisyaratkan kami untuk turun. Jalan yang kami tempuh saat turun tak berbeda seperti saat kami naik tapi jauh terasa lebih ringan. Kami menyusurinya dengan berjalan kaki. Bukan, tapi jalan cepat, atau berlari? Yang pasti kami ingin cepat sampai di camp. Di tengah perjalanan turun ke camp, kami berjumpa dengan tim kloter kedua. Mereka terlambat karena menunggu salah satu teman kami yang fisiknya kurang kuat. Aku merasa ada yang mengganjal di hati. Bagaimana bisa aku tega lebih dulu ke puncak meninggalkan teman-temanku yang lain. Melalui tulisan ini aku mohon maaf.

CFD Dago

                Peristiwa kantin di sisi danau telah lama terlewati dan tak ku sangka-sangka ternyata… amat manis. Ditutupnya lakon kesalahpahaman kemarin dengan senyum cair khas putri Lombok yang tersipu ketika angin menyapa. Di hari dimana aku melihatnya kembali, rambutnya dikuncir kuda, hingga kelihatan tengkuknya. Berbaju warna jeruk, bertraining hitam, berspatu sport, dan diputarnya vokal-vokal ceria. Tubuhnya langsing, walaupun dia menganggap itu terlalu kurus, tapi aku menyukainya. Aku berusaha meyakinkan dia kalau semua itu ciptaan Tuhan dan tak pantas kita malu akan anugerahNya.
“Ga usah ga pedean gitu lah”, kataku meyakinkannya. Aku tidak mau dia berubah. Wajahnya lebih putih, lebih bersih dari yang pernah kutemui. Di tengah keramaian aku mencari bekas jerawat yang sangat kurindu, yang ternyata telah hilang entah dimakan produk kecantikan macam apa. Its ok, overall dia semakin ayu. Matanya masih sama, sayu seperti orang yang belum tidur. Memang, dia tipe wanita yang sulit tidur.
Samar-samar aku mendengar alunan lagu leslies-happy entah dari mana. Mungkin dari sound system yang terlihat berjajar di sepanjang Jalan Djuanda, atau mungkin hanya aku yang mendengarnya karena suara itu berasal dari dalam diriku? Masa bodoh, yang penting suara itu datang di waktu yang tepat. Bagai adegan di film CAS, dia bergerak lambat, seraya tersenyum lucu menatapku.
           

Friday, October 7, 2011

awan rinjani part 1

puncak rinjani dilihat dari jalur sembalun
Jauh sebelum hari itu, semua telah dipersiapkan. Persiapan perlengkapan, logistik, sampai kronologis sudah menjadi menu wajib kami sebelum berangkat ke lapangan. Perjalanan ini menyimpan prestige tersendiri untukku. Rinjani, siapa tak kenal gunung itu? Gunung setinggi 3765 mdpl yang indah dan selalu mesra menyapa hasrat para pendaki. Terlebih gunung ini terletak di Lombok, pulau yang sangat eksotis yang menyimpan sensasi keindahan yang misterius. Tak ayal kamipun rela menempuh perjalanan jauh dari bandung melintasi jawa dari barat hingga ke timurnya, melewati selat bali, melampaui pulau dewata, dan akhirnya tiba di Lombok.
 Kami menggunakan transportasi darat untuk menuju ke sana. Berawal dari menaiki kereta api dari bandung ke yogyakarta seharga Rp 28.000,00. Lalu menyambung sampai banyuwangi dengan harga tiket kereta Rp. 34.000,00. 24 jam sudah kami berada di kereta api. 15 menit berjalan kaki dari stasiun Banyuwangi kami telah sampai di pelabuhan Ketapang. Melewati selat Bali dengan kapal ferry berharga tiket Rp. 10.000,00, kami tiba di Bali. Perjalanan dilanjutkan menggunakan bis, kami membayar Rp 35.000,00 per orang untuk sampai ke Padang Bai, pelabuhan sisi timur Bali. Kami singgah sebentar di rumah seorang kawan di Mataram untuk mempersiapkan diri, dari belanja logistik sampai meregangkan otot. Transportasi darat yang sambung-menyambung yang melelahkan termakan oleh keceriaan dan misteri. Ya, misteri yang tak dapat ku jelaskan di lembaran ini.