Mendaki
gunung dan camping merupakan kegiatan
yang amat menyenangkan (setidaknya bagi saya) namun juga berbahaya. Mungkin
kalian pernah mendengar beberapa accident
ketika mendaki gunung semisal tersesat, terjatuh, atau bahkan terkena gas
beracun. Semua itu bisa jadi malaikat pencabut nyawa bagi para pendaki. Bisa dikatakan
menjadi resiko yang harus di tanggung untuk kepuasan dan penyaluran hobby.
Tersesat,
ya...tersesat. Saya pernah mengalaminya beberapa kali dalam kegiatan alam liar.
Setiap ketersesatan mempunya rasa yang berbeda-beda, namun sama sama
menakutkan. Saya pertama kali merasakan tersesat di hutan ketika saya melakukan
pendakian pertama saya di Gunung Gede. Waktu itu saya masih kelas 2 SMA dan
ketika itu saya masih buta dengan seluk beluk kegiatan mountaineering.
Alkisah
awalnya kami ber enam sudah dilarang oleh jagawana Gunung Gede untuk mendaki
malam itu karena cuaca di atas sedang buruk. Namun kami membandel dan
menyelinap masuk kawasan ketika sang jagawana tertidur, maklum masih SMA,
pikirannya belum matang. Alhasil kami bisa mendaki meski jalur memang sedang
ditutup. Kami sempat mendirikan tenda di dekat jalur (saya lupa tepatnya dimana)
dan tidur. Nah, disitu kami baru tahu kalo tenda yang kami bawa tidak ada framenya. Frame tenda kami tertinggal ketika kami packing di rumah. Namun itu tidak menyurutkan semngat kami mencapai
puncak Gunung Gede.
Kami
terus berjalan mendaki esok harinya. Semakin tinggi kami mendaki, cuaca semakin
tidak bersahabat. Kabut mulai menutupi pandangan kami ber enam. Sesampainya di
pinggir kawah, datanglah angin kencang yang disertai hujan gerimis. Kami tidak
bisa berlindung di balik pepohonan karena memang sudah melewati batas vegetasi.
Entah mendapat ilham dari mana, kami berlindung dengan hanya berselimut ponco. Bisa
kalian bayangkan bagaimana dinginnya di puncak gunung dengan keadaan basah,
tidak bergerak, dan diterpa badai. Kami baru melanjutkan perjalanan ke Surya
Kencana ketika badai sedikit reda.
Sesampainya
di Surya Kencana, kabut masih menutupi sekeliling. Hanya ada dua rombongan di
sana. Kami membuat shelter dengan tenda doom tanpa frame dan membuat camp
cadangan denga terpal. Ketika hujan datang malam harinya, camp doom segera
menjadi kolam dan segera kami tinggalkan menuju camp terpal. Semalaman itu kami
tidak bisa tidur. Kami mulai berfikir tentang hal buruk apa lagi yang mungkin
bisa menghajar kami nanti.
Keesokan
harinya kami tidak punya pilihan selain turun. Kondisi fisik yang melemah
merayu kami untuk menuruni jalur Putri yang notabene lebih cepat meski kami
belum ada yang pernah melaluinya. Kabut masih menyelimuti Surya Kencana. Jarak
pandang hanya sekitar 3 meteran. Ketika kabut menjauh sebentar, dengan jelas
saya melihat sesosok anjing mirip srigala putih besar. Entah apa itu, apakah
makhluk nyata atau makhluk dari alam lain. Saya tidak mau tahu. Kami terus
berjalan lurus. Seharusnya diujung Surya Kencana, jalan menuju jalur Putri agak
berbelok ke kiri, namun karena kabut yang sangat tebal kami tetap lurus
mengikuti jalan yang sepertinya ada namun sebenarnya tiada.
Kami
baru sadar bila kami tersesat ketika jalan yang kami ikuti perlahan mnghilang
dan berganti dengan semak lebat. Kamipun kehilangan jalur untuk kembali ke
Surya Kencana. Disaat itulah terlihat sekali wajah-wajah penuh ketakutan. Terlintas
dipikiran saya dosa-dosa yang pernah dilakukan, harapan cita-cita yang belum
terlaksana, dan wajah-wajah orang terkasih. Seperti lembaran slide power point
saat persentasi. Kamipun hanya diam dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya slah
seorang teman menganjurkan agar kami sejenak berdoa bersama meminta lindungan
Allah SWT dan meminta maaf kepada siapapun yang merasa terganggu di Gunung ini.
Setelah
berdoa kami terus berjalan turun dan lebih awas lagi melihat penampakan medan
di sekitar. hujan perlahan berganti gerimis. Perlahan kamipun melihat ada
seperti bekas jalan. Lama kelamaan kami menemukan bungkus indomi berserak di
tanah. Betapa senangnya kami melihat sampah kala itu. Siang beranjak menuju
malam. Kami berjalan hanya dengan satu penerangan dan terus mengikuti jalaur
tipis yang kami temukan. kami berjalan terus tanpa istirahat dan baru sampai di
batas ladang sekitar pukul 02.00 pagi. Kelelahan, keram, kedinginan menyelimuti
kami. Kami tak sanggup lagi berjalan dan akhirnya tertidur dislimuti pohon
pisang yang kami tebas hingga pagi menjelang. Sebangunnya dari tidur kami
langsung menuju perkampungan. Betapa senangnya saya ketika selamat dari bahaya
yang telah saya alami.
Tersesat
sangatlah membahayakan, namun ada sisi lain yang saya dapat dari peristiwa
tersesat itu. Saya menjadi sadar betapa tak berdayanya kita terhadap kekuasaan
Tuhan. Betapa lemahnya kita dihadapanNya. Selain itu saya baru merasakan yang
namanya sahabat “sehidup semati” dalam arti sebenarnya. Dan yang terkhir,
setelah peristiwa itu timbul minat dan niat saya untuk belajar tentang ilmu
mountaineering agar bisa menikmati keindahan alam dengan aman. Alhasil sekarang
saya telah menjadi anggota sebuah perkumpulan Pecinta Alam di kampus saya dan
telah mendaki beberapa gunung.
Semoga
pengalaman ini dapat menjadi bahan pembelajaran untuk semua teman-teman yang
senang berpetualang di alam bebas untuk mengutamakan safety prosedur dan
menambah ilmunya di bidang kegiatan alam bebas agar kejadian seperti yang saya
alami tidak kalian rasakan. Sumpah..., tersesat itu ngga enak banget. Salam.
subhanallah sekali saudara muron ini...
ReplyDeletepastinya pengalaman yang mencemaskan dan memacu adrenaline ya
ReplyDeleteentah mengapa terkadang saya kangen dengan perasaan ada ditengah gunung sunyi,sepi,sendiri melihat keagungan tuhan
nice story bro
Pengalaman yg hampir sama bro...saya dan 2 temen pas sampai surken itu udah hujan lebat,tenda rusak kudu pintar2 tancap,pasang,ikat itu tenda,alhamdulilah dari naik sampai turun di lindungi oleh Allah SWT
ReplyDelete