Wednesday, November 27, 2013

Rembulan dan Pemulung Sinarnya



Sepertinya beberapa satuan waktu silam media blog ini berisikan tentang petualangan, pengalaman menembus bentang alam, ataupun kisah tentang bekerjanya adrenalin lebih keras dari biasanya. Bagaimana kalau kali ini kita meracau kacau tentang rembulan dan pemulung sinarnya? Setujukah kalian semua? Bagaimana? Hahahaha...terserah kalian terkait pemikiran kalian tentang kata setuju atau tidak. Asal kalian tahu, aku sedang ingin, teramat ingin mungkin, membuat tulisan mengenai kisah murahan itu, yang sialnya terinspirasi dari alur peran kehidupan yang terjalani oleh badan ini. Bukan untuk menunjukan apa-apa, hanya agar ruangan yang mengatur perasaan dan logika yang tertanam entah dimana dalam bagian tubuh ini sedikit lega, tidak sumpek seperti jalan-jalan ibukota yang tiap harinya diserbu berbagai jenis kendaraan berbahan bakar fosil yang pada akhirnya membuat ibu bumi kita menangis.





Alkisah di suatu belantara modernisasi yang terletak di dataran sejuk nan penuh polusi berjalanlah seorang muda seraya memusatkan pandangannya pada sela-sela kedua kakinya yang bergantian melangkah, dengan penuhnya peluh kesal serta panasnya dendam yang mau tak mau terangkut dalam ranselnya. Ia terus berjalan, tanpa peduli akan indahnya kerlap kerlip lampu jalan yang terlewatinya, tanpa menoleh ketika semerbak bunga menyeruak ruangan yang disinggahinya, tanpa terusik ketika air hujan menetes bertubi-tubi ke wajahnya. Tak ada yang mampu mengusik kenyamanannya berjalan menembus hujan seraya memanggul ransel penuh tanda tanya miliknya.

Tanpa terasa ia telah sampai di sebuah bukit dengan pemandangan kota dibawahnya dan awan malam yang terlihat jelas berarak. Di sebuah batu yang teronggok di bukit itu, ia mulai mengulurkan nafas panjangnya. Sekali, dua kali, hingga berkali-kali ia menghela nafas, namun bebannya sama sekali tak berkurang. Lalu ia mengambil gulungan nikotin dari sakunya kemudian membakarnya sambil menatap bias cahaya yang tersamarkan awan. 

Ia terus menatap tanpa angan apapun dibarengi kepulan asap dari mulutnya. Beberapa saat terasa biasa, tak ada rasa yang bisa menjadi triger dengan rasa-rasa sebelumnya. Begitu lama rasa biasa itu menemaninya menatap rembulan. Perlahan awan makin menipis, lalu hilang ditelan angin. Bersamaan dengan awan yang beranjak, rasa sang penatap itu mulai berubah. Dipandanginya sinaran yang begitu indah. Sinaran yang perlahan membuat damai walaupun isi ranselnya belum juga kosong. Sinar yang indah, membuatnya ingin berlama-lama berdiam diri di tempat itu. Tanpa sadar, wajah yang semu suram perlahan tersenyum getir menatap keindahan itu. 

Rembulan itu, membuatnya begitu senang, namun juga membuatnya begitu kalut. Betapa ingin ia duduk terdiam tenang di pelukannya. Ya, betapa ingin ia duduk di atas sana. Memintal kedamaian, menyulam kembali senyum yang hilang, menghasilkan kehangatan di malam yang dingin. Untuk kali ini hanya pemandangan ini yang bisa ia dapatkan. Hanya sinaran yang jatuh ke bumilah yang bisa ia kumpulkan, memulungnya dengan hati-hati seraya sejenak menghiraukan beban. Sejenak ia berkata, “mungkin suatu saat nanti aku akan kesana wahai rembulan”. Sesaat kemudian ia berkata lirih embari tersenyum getir, “atau mungkin hanya berkas sinarmu yang akan aku pulung, selamanya”. Dan pada malam-malam selanjutnya ia bisa dipastikan ada disana. Memulung kembali berkas-berkas rembulan yang sama.

Bagaimana kawan? Tidak jelas bukan? Hahaha..., memang. Paling tidak, tulisan ini bisa melepaskan apa yang terpenjara.

No comments:

Post a Comment