Sepertinya beberapa satuan waktu silam
media blog ini berisikan tentang petualangan, pengalaman menembus bentang alam,
ataupun kisah tentang bekerjanya adrenalin lebih keras dari biasanya. Bagaimana
kalau kali ini kita meracau kacau tentang rembulan dan pemulung sinarnya?
Setujukah kalian semua? Bagaimana? Hahahaha...terserah kalian terkait pemikiran
kalian tentang kata setuju atau tidak. Asal kalian tahu, aku sedang ingin, teramat
ingin mungkin, membuat tulisan mengenai kisah murahan itu, yang sialnya
terinspirasi dari alur peran kehidupan yang terjalani oleh badan ini. Bukan
untuk menunjukan apa-apa, hanya agar ruangan yang mengatur perasaan dan logika
yang tertanam entah dimana dalam bagian tubuh ini sedikit lega, tidak sumpek seperti
jalan-jalan ibukota yang tiap harinya diserbu berbagai jenis kendaraan berbahan
bakar fosil yang pada akhirnya membuat ibu bumi kita menangis.
Alkisah di suatu belantara
modernisasi yang terletak di dataran sejuk nan penuh polusi berjalanlah seorang
muda seraya memusatkan pandangannya pada sela-sela kedua kakinya yang
bergantian melangkah, dengan penuhnya peluh kesal serta panasnya dendam yang
mau tak mau terangkut dalam ranselnya. Ia terus berjalan, tanpa peduli akan
indahnya kerlap kerlip lampu jalan yang terlewatinya, tanpa menoleh ketika
semerbak bunga menyeruak ruangan yang disinggahinya, tanpa terusik ketika air
hujan menetes bertubi-tubi ke wajahnya. Tak ada yang mampu mengusik
kenyamanannya berjalan menembus hujan seraya memanggul ransel penuh tanda tanya
miliknya.
Tanpa terasa ia telah sampai di
sebuah bukit dengan pemandangan kota dibawahnya dan awan malam yang terlihat
jelas berarak. Di sebuah batu yang teronggok di bukit itu, ia mulai mengulurkan
nafas panjangnya. Sekali, dua kali, hingga berkali-kali ia menghela nafas,
namun bebannya sama sekali tak berkurang. Lalu ia mengambil gulungan nikotin
dari sakunya kemudian membakarnya sambil menatap bias cahaya yang tersamarkan
awan.
Ia terus menatap tanpa angan
apapun dibarengi kepulan asap dari mulutnya. Beberapa saat terasa biasa, tak
ada rasa yang bisa menjadi triger dengan rasa-rasa sebelumnya. Begitu lama rasa
biasa itu menemaninya menatap rembulan. Perlahan awan makin menipis, lalu
hilang ditelan angin. Bersamaan dengan awan yang beranjak, rasa sang penatap
itu mulai berubah. Dipandanginya sinaran yang begitu indah. Sinaran yang
perlahan membuat damai walaupun isi ranselnya belum juga kosong. Sinar yang
indah, membuatnya ingin berlama-lama berdiam diri di tempat itu. Tanpa sadar,
wajah yang semu suram perlahan tersenyum getir menatap keindahan itu.
Rembulan itu, membuatnya begitu
senang, namun juga membuatnya begitu kalut. Betapa ingin ia duduk terdiam tenang di pelukannya. Ya, betapa
ingin ia duduk di atas sana. Memintal kedamaian, menyulam kembali senyum yang
hilang, menghasilkan kehangatan di malam yang dingin. Untuk kali ini hanya
pemandangan ini yang bisa ia dapatkan. Hanya sinaran yang jatuh ke bumilah yang
bisa ia kumpulkan, memulungnya dengan hati-hati seraya sejenak menghiraukan
beban. Sejenak ia berkata, “mungkin suatu saat nanti aku akan kesana wahai
rembulan”. Sesaat kemudian ia berkata lirih embari tersenyum getir, “atau mungkin hanya berkas sinarmu
yang akan aku pulung, selamanya”. Dan pada malam-malam selanjutnya ia bisa dipastikan ada
disana. Memulung kembali berkas-berkas rembulan yang sama.
Bagaimana kawan? Tidak jelas
bukan? Hahaha..., memang. Paling tidak, tulisan ini bisa melepaskan apa yang
terpenjara.
No comments:
Post a Comment