Sunday, August 26, 2012

Ruang keluarga itu adalah gunung gede (part 1)


Keluarga, suatu kesatuan jiwa yang mengikat. Mungkin karena kesamaan darah sehingga sebuah perasaan saling memiliki yang sangat besar sangat nyaman berada didalamnya. Keluarga, merupakan oasis kasih sayang bagi jiwa-jiwa dan logika-logika yang haus akibat terik kerontang kehidupan. Menjadi penerang dibalik rinai tangis air mata, atau menjadi sejuk embun yang sepertinya enggan beranjak meninggalkan sang pagi. Dan tak ada kata-kata terindah dan terpuitis yang mampu menggambarkan perasaan ini akan keluarga selain “aku sayang keluargaku”.

Berkumpul bersama keluarga bagiku dan mungkin bagi sebagian kalian merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan, dimana caci dan puji bersanding menjadi kebahagiaan, si tua membagi pengalaman hidupnya ke si muda. Si muda menceritakan apa yang dia dapat kepada si tua. Saling  mengisi yang membuat rasa utuh.
           
Mungkin sebagian keluarga modern bercengkrama dan berbagi di ruang makan atau di ruang keluarga. Sebagian lagi mungkin menyewa villa di kawasan puncak atau bertamasya ketempat rekreasi lainnya. Tapi hal itu terlalu mainstream bagiku. Terlalu standar. Terlalu biasa. Akhir pekan ini aku dan keluargaku memilih kawasan Taman Nasional Gede Pangrango sebagai tempat kami bercengkrama, dimana lembah Surya Kencana dan triangulasi puncak Gunung Gede sebagai ruang keluarganya. Hmmmm… cukup menantang. Rekreasi berbau petualangan untuk mencari ketenangan. Ya… petualangan. 
            
Sore itu mobil keluarga berwarna merah, penuh sesak memuat peralatan hiking yang tersusun rapi di bagasi, berlari stabil di jalur tengah jalan tol Jagorawi. Mobil itu berisikan empat nafas manusia. Aku, bapak, ibu, dan adikku. Kami tiba di pintu masuk pos pendakian cibodas pukul 21.00 WIB. Kopi dan bandrek mengalir di leher masing-masing kami sekedar untuk menahan hawa dingin yang mulai terasa diketinggian 1500an mdpl. Tak lama mobil kijang berisi anggota tim yang lain, yang merupakan teman-temanku datang. Merekapun segera bersiap melakukan pendakian setelah beberapa saat meregangkan otot-otot mereka. Jumlah kami utuh sekarang, 12 orang.
            
Sekitar pukul 23.00 WIB kami mulai bergerak. Setapak demi setapak jalan menanjak berbatu kami injak. Udara dingin membius, mendekap sekujur tubuh seakan ingin mengucapkan selamat datang. Bapakku terlihat terengah, dengan keriput di keningnya yang mengerucut serta napasnya yang mulai memburu. Dari belakang akupun melihat langkah kaki ibu yang tak secepat lngkahnya yang biasa. Cukup menyesakkan batin ini. Di tambah beban ransel yang menggelayut di punggungku. Tapi semua itu berubah menjadi perasaan yang lebih lega ketika bapak ibuku tersenyum dan tertawa menikmati kelelahannya serta dingin dan keindahan yang tersaji ketika menelusuri jembatan beton yang tersedia. Gelak tawa dan kata-kata menyemangati dari anggota tim lain membuat nafasku kembali terbuka. 




            
“…..break”. Sambil terengah ibuku bersuara. Kamipun menghentikan langkah sejenak untuk mengembalikan nafas ke ritme yang seharusnya. Tiba-tiba terdengar suara seprti orang muntah ditengah obrolan kami yang diselingi canda dan ejekan. Dengan sekejap jantung ini berdegup semakin cepat. Ibu! Segera aku beranjak dan mendekati ibuku. “ga apa-apa, Cuma belum biasa aja”, aku berusaha menenangkan tidak hanya ibuku tapi juga aku, walau berjuta kekhawatiran menyelimuti selaput otakku. Namun senyum manis ibuku menghapus semua kekhawatiran dan berganti optimisme. Setelah meneguk air dan beberapa saat istirahat, kami melanjutkan perjalanan dan kamipun sepakat mencari pos terdekat untuk istirahat sebagai antisipasi hal-hal yang tidak diharapkan.
            
Akhirnya kami beristirahat di pos panyancangan pada pukul 01.00 WIB, sekitar 100 meteran dari air terjun Cibeureum. Segera frame-frame tenda disusun dan sesaat kemudian doome yang cukup hangat untuk menghalangi udara dingin, telah berdiri di bawah pos Panyancangan. Kami masak mie instan dan teh hangat, sekedar mengisi perut dan menghangatkan badan. Hati ini sedikit lega melihat keluargaku baik-baik saja. Mereka mungkin sudah menyesuaikan diri dengan udara dan lingkungan sekitarnya. 
                  
Pagipun tak terbendung untuk datang. Menyisakan sedikit bekas kegelapn malam yang masih suram, serta bulir embun pagi buah karya sang kabut tipis yang mulai beranjak dan sedikit demi sedikit berganti cahaya mentari yang sedari tadi mengintip di balik kesuraman hutan. Sebuah keindahan yang lengkap bagiku, bagi keluargaku. Tanpa komando yang terencana, kamipun mulai memasak untuk sarapan. Menu pagi ini adalah sayur asem, dan ikan asin. Menu yang biasa, namun menjadi berlipat ganda nikmatnya ketika disantap di tengah belantara dengan aroma persahabatan serta kasih sayang. Aku ingin sombong. Ya.., aku ingin sombong atas kebersamaanku dengan keluargaku. Sesuatu yang sulit ditemui di ranah modern seperti sekarang ini. Pagi itu wajah ibu mengisyaratkan keadaan baik-baik saja. Begitu juga bapak dan adikku meski semalam adikku sempat di kerik karena merasa pusing dan sesak. Suatu optimisme kembali muncul untuk melanjutkan perjalanan. 


Perlahan kami melangkahkan kaki. Aku mulai tidak peduli dengan beban yang bergelayut bebas di pundakku. Yang ku pikirkan kini adalah kondisi tim, terutama keluargaku. Namun apa yang terpampang dalam kenyataan cukup melegakan. Keluargaku menikmati perjalanan, terlebih ibuku. Ibuku yang semalam pucat pasi, hari ini tak henti-hentinya menebar senyum bahagia. Mungkin ini pengalaman hidupnya yang tak terbayar oleh suatu apapun. Berkali-kali dia mengatakan bahwa dia tidak pernah mimpi untuk mendaki gunung. Oh..god, what the cutest smile from my mom.     
             
Kami tiba di pos air panas sekitar pukul 12.00 WIB. Selepas pos,kami disambut uap-uap yang terbentuk oleh reaksi antara air yang panas dengan udara yang dingin. Kami harus menapaki tepian jurang, dimana jurang pada salah satu sisinya dan guguran air panas pada sisi lainnya. Hanya terdapat balok kayu melintang sebagai pijakkan dan tambang usang sebagai pembatas bibir jurang. Jarak pandang kami hanya beberapa meter ke depan. Sungguh eksotis. Lebih ke depan lagi air sudah tak terlalu panas. Terlalu sayang jika hanya dibiarkan mengalir begitu saya tanpa merendam sebagian tubuh. Bapakku serta beberapa teman segera membenamkan tubuhnya di air hangat yang mengalir.
               

No comments:

Post a Comment