Tetesan
air hasil konversi uap yang membentuk awan tiba-tiba menyergap di sekeliling
perkebunan teh di wilayah desa Tarumajaya kabupaten Bandung sesaat setelah kami menyantap
hidangan siang itu. Dengan sigap kami menyiapkan segala peralatan antisipasi
atas efek yang bisa ditimbulkan oleh tetesan air tersebut. Gianto memakai ponco
ala tentara yang hendak masuk rimba, aku memasang cover bag avtech, Diah nyaman dengan raincoat birunya, sementara
Lisna menantang sang cuaca dengan pakaian lapangan berbadge Astacala kebanggaannya.
Perlahan kami menambah ketinggian dihari itu hingga kami
memutuskan untuk ngecamp di
ketinggian sekitar 2000 mdpl, lebih beberapa meter dari target yang telah
disepakati. Sesuai kesepakatan, materi kali ini adalah bivak perorangan. Ya,
kami berada di kawasan gunung papandayan, lebih tepatnya punggungan gunung
kendang ini dalam rangka latihan Gunung Hutan (GH). Tak sulit bagi mereka
mendirikan bivak dari ponco, sebuah ingatan seperti terputar kembali di benak
mereka. Suatu masa ketika mereka meniti langkah untuk menjadi keluarga besar
Astacala.
Cuaca malam kontras dibanding dengan cuaca ketika siang
hari. Hujan perlahan meninggalkan kami, berganti bintang-bintang yang secara
berlebihan memamerkan sinarnya. Hening malam dipecahkan dengan suara logam yang
saling beradu ketika santap malam siap sedia. Menu malam itu adalah kangkung,
ikan asin, telur dadar dan sosis. Menu yang mungkin biasa rasanya ketika kami
nikmati di kota
tapi berlipat ganda nilainya ketika berada di alam rimba yang damai. Dan rasa
kenyang membuat kami terlelap.
Hari berikutnya tak jauh berbeda dari hari sebelumnya.
Masih dibekap udara dingin yang menyeringai dibalik rimbunnya pepohonan, kami
berjalan meniti punggungan tipis menuju titik camp 2. Tak ada jalur. Ya, memang
punggungan yang kami lalui masih jarang dijamah manusia sehingga alamnya masih
terasa asri. Ya, terasa, bukan terlihat, terlihat seperti kamuflase pemikiran
manusia yang berhalusinasi bahwa rasa alam yang asri bisa diganti dengan
rangkaian plastik menyerupai tumbuhan. Atau membohongi jaringan kulit dan
paru-paru mereka dengan suhu sejuk yang dihasilkan alat elektronik yang memakan
energi yang dicuri dari unsure kehidupan serta melubangi lapisan ozon yang
dengan sadar mereka tutup pikiran mereka dari hal itu.
Sore hari kami telah berada di sebuah puncakan
bertriangulasi 2067 mdpl. Tak ada tempat lapang atau artefak yang menandakan
bahwa pernah ada manusia yang bermalam disini. Persediaan air menipis. Kami
melihat pertanda kawah di peta kami. Kamipun berbagi tugas, aku dan Gianto
turun kekawah berharap menemukan air. Dengan susah payah kami menerobos rajutan
alam berbahan tanaman berduri. Sesampainya di kawah kami harus kecewa karena
air yang kami cari tidak ada, hanya kubangan berukuran sekitar 1 meter persegi
yang dipenuhi rapat oleh larva katak. Mulai saat itu, kamipun harus rela
mengurangi jatah minum kopi untuk menghemat pemakaian air.
Pagi hari kembali membangunkan kami dengan sapaan
sinarnya yang lebih menyengat dari hari sebelumnya. Misi kami hari itu adalah
bergegas menuju camp 3 untuk mendapatkan air. Setengah perjalanan kami lewati
dengan mudah sampai tibalah kami disebuah punggungan yang melebar. Pepohonan
lebat menghalangi pandangan kami untuk orientasi. Semak berduri setinggi 2
meteran berdiri kokoh saling bersilangan menantang kami. Tak ada jalan lain,
kami harus menembus barisan tumbuhan berduri, semak-semak lebat dengan akarnya
yang bersilangan, dan ranting-ranting pohon rubuh yang menghalangi gerak kami.
Sebilah golok rain diayunkan untuk melibas obstacle didepan mata. Namun memang medan yang harus
dikalahkan sungguh berat. Kami tidak sampai di camp 3.
Kami memutuskan mendirikan camp di sebuah punggungan yang
agak datar. Semua melakukan tugasnya masing-masing. Aku dan Gianto kembali
mencoba menuruni punggungan untuk mencapai lembahan yang kami harap ada air
yang mengalir disana. Namun medan
yang begitu terjal ditambah semak berduri yang tumbuh subur menulitkan usaha
kami. Hujanpun turun dengan derasnya ketika kami masih mencoba untuk turun.
Ditambah gelap yang mulai menyeruak dibalik ranting-ranting. Kami memutuskan
untuk menangguhkan usaha kami dengan konsekuensi harus mengirit penggunaan air.
Hujan malam itu perlahan berlalu, menyisakan butir-butir
air yang menggantung dipohon dan udara dingin yang menjalar hingga ke sum-sum.
Tubuh terasa letih sekali, guratan-guratan hasil karya semak dan duri menghiasi
tangan hingga wajah. Nesting dan gelas kami letakkan di sudut-sudut bivak,
berharap tetes demi tetes mengisi wadah sehingga kami bisa mengusir dahaga
untuk esok hari. Tak terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk memejamkan mata
dan mengistirahatkan sejenak kesadaran yang kami punya.
Kami bangun dipagi hari lebih awal dari biasanya. Mungkin
karena rasa haus atau kekhawatiran akan haus. Semua packing lebih cepat dari
rencana. Kami mulai meraba semak dan bercengkrama dengan duri berharap lekas
sampai di titik air. Tak sampai setengah hari kami telah melihat ladang serta
selang-selang yang melintang di pinggir punggungan. Kami beristirahat di
pinggiran hutan, mengambil air dari pipa yang bocor, lalu mempraktekan beberapa
teknik tentang SAR.
Kami turun di sebuah desa yang tidak mempunyai angkutan
umum. Bagai terdampar disebuah pulau yang entah bagaimana caranya untuk keluar
darinya. Tapi tak ada masalah tanpa jalan keluar, kami keluar dari desa itu
dengan menumpak truk-truk teh yang melintas, menumpang di sisi-sisi truk tangki
susu, sampai menumpang mobil yang menuju kota.
Selepas magrib kami kami telah mencapai pasar Pangalengan dan langsung bertolak
menuju secretariat.
Aku berharap perjalanan ini menjadi awal dan pondasi bagi
anggota muda Astacala untuk menciptakan perjalanan-perjalanan besar di kemudian
hari. Semoga generasi-generasi baru yang lebih baik berdiri di atas kuburan
kami dan membangun candi yang telah diawali oleh para pengangkut batu yang
mungkin mulai mati.
No comments:
Post a Comment