Sunday, June 24, 2012

gunung kendang, cekungan yang garang

Tetesan air hasil konversi uap yang membentuk awan tiba-tiba menyergap di sekeliling perkebunan teh di wilayah desa Tarumajaya kabupaten Bandung sesaat setelah kami menyantap hidangan siang itu. Dengan sigap kami menyiapkan segala peralatan antisipasi atas efek yang bisa ditimbulkan oleh tetesan air tersebut. Gianto memakai ponco ala tentara yang hendak masuk rimba, aku memasang cover bag avtech, Diah nyaman dengan raincoat birunya, sementara Lisna menantang sang cuaca dengan pakaian lapangan berbadge Astacala kebanggaannya.
                         
Perlahan kami menambah ketinggian dihari itu hingga kami memutuskan untuk ngecamp di ketinggian sekitar 2000 mdpl, lebih beberapa meter dari target yang telah disepakati. Sesuai kesepakatan, materi kali ini adalah bivak perorangan. Ya, kami berada di kawasan gunung papandayan, lebih tepatnya punggungan gunung kendang ini dalam rangka latihan Gunung Hutan (GH). Tak sulit bagi mereka mendirikan bivak dari ponco, sebuah ingatan seperti terputar kembali di benak mereka. Suatu masa ketika mereka meniti langkah untuk menjadi keluarga besar Astacala.
                   
Cuaca malam kontras dibanding dengan cuaca ketika siang hari. Hujan perlahan meninggalkan kami, berganti bintang-bintang yang secara berlebihan memamerkan sinarnya. Hening malam dipecahkan dengan suara logam yang saling beradu ketika santap malam siap sedia. Menu malam itu adalah kangkung, ikan asin, telur dadar dan sosis. Menu yang mungkin biasa rasanya ketika kami nikmati di kota tapi berlipat ganda nilainya ketika berada di alam rimba yang damai. Dan rasa kenyang membuat kami terlelap.
            
Hari berikutnya tak jauh berbeda dari hari sebelumnya. Masih dibekap udara dingin yang menyeringai dibalik rimbunnya pepohonan, kami berjalan meniti punggungan tipis menuju titik camp 2. Tak ada jalur. Ya, memang punggungan yang kami lalui masih jarang dijamah manusia sehingga alamnya masih terasa asri. Ya, terasa, bukan terlihat, terlihat seperti kamuflase pemikiran manusia yang berhalusinasi bahwa rasa alam yang asri bisa diganti dengan rangkaian plastik menyerupai tumbuhan. Atau membohongi jaringan kulit dan paru-paru mereka dengan suhu sejuk yang dihasilkan alat elektronik yang memakan energi yang dicuri dari unsure kehidupan serta melubangi lapisan ozon yang dengan sadar mereka tutup pikiran mereka dari hal itu.
            
Sore hari kami telah berada di sebuah puncakan bertriangulasi 2067 mdpl. Tak ada tempat lapang atau artefak yang menandakan bahwa pernah ada manusia yang bermalam disini. Persediaan air menipis. Kami melihat pertanda kawah di peta kami. Kamipun berbagi tugas, aku dan Gianto turun kekawah berharap menemukan air. Dengan susah payah kami menerobos rajutan alam berbahan tanaman berduri. Sesampainya di kawah kami harus kecewa karena air yang kami cari tidak ada, hanya kubangan berukuran sekitar 1 meter persegi yang dipenuhi rapat oleh larva katak. Mulai saat itu, kamipun harus rela mengurangi jatah minum kopi untuk menghemat pemakaian air.
            
Pagi hari kembali membangunkan kami dengan sapaan sinarnya yang lebih menyengat dari hari sebelumnya. Misi kami hari itu adalah bergegas menuju camp 3 untuk mendapatkan air. Setengah perjalanan kami lewati dengan mudah sampai tibalah kami disebuah punggungan yang melebar. Pepohonan lebat menghalangi pandangan kami untuk orientasi. Semak berduri setinggi 2 meteran berdiri kokoh saling bersilangan menantang kami. Tak ada jalan lain, kami harus menembus barisan tumbuhan berduri, semak-semak lebat dengan akarnya yang bersilangan, dan ranting-ranting pohon rubuh yang menghalangi gerak kami. Sebilah golok rain diayunkan untuk melibas obstacle didepan mata. Namun memang medan yang harus dikalahkan sungguh berat. Kami tidak sampai di camp 3.
            
Kami memutuskan mendirikan camp di sebuah punggungan yang agak datar. Semua melakukan tugasnya masing-masing. Aku dan Gianto kembali mencoba menuruni punggungan untuk mencapai lembahan yang kami harap ada air yang mengalir disana. Namun medan yang begitu terjal ditambah semak berduri yang tumbuh subur menulitkan usaha kami. Hujanpun turun dengan derasnya ketika kami masih mencoba untuk turun. Ditambah gelap yang mulai menyeruak dibalik ranting-ranting. Kami memutuskan untuk menangguhkan usaha kami dengan konsekuensi harus mengirit penggunaan air.
            
Hujan malam itu perlahan berlalu, menyisakan butir-butir air yang menggantung dipohon dan udara dingin yang menjalar hingga ke sum-sum. Tubuh terasa letih sekali, guratan-guratan hasil karya semak dan duri menghiasi tangan hingga wajah. Nesting dan gelas kami letakkan di sudut-sudut bivak, berharap tetes demi tetes mengisi wadah sehingga kami bisa mengusir dahaga untuk esok hari. Tak terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk memejamkan mata dan mengistirahatkan sejenak kesadaran yang kami punya.
            
Kami bangun dipagi hari lebih awal dari biasanya. Mungkin karena rasa haus atau kekhawatiran akan haus. Semua packing lebih cepat dari rencana. Kami mulai meraba semak dan bercengkrama dengan duri berharap lekas sampai di titik air. Tak sampai setengah hari kami telah melihat ladang serta selang-selang yang melintang di pinggir punggungan. Kami beristirahat di pinggiran hutan, mengambil air dari pipa yang bocor, lalu mempraktekan beberapa teknik tentang SAR.
            
Kami turun di sebuah desa yang tidak mempunyai angkutan umum. Bagai terdampar disebuah pulau yang entah bagaimana caranya untuk keluar darinya. Tapi tak ada masalah tanpa jalan keluar, kami keluar dari desa itu dengan menumpak truk-truk teh yang melintas, menumpang di sisi-sisi truk tangki susu, sampai menumpang mobil yang menuju kota. Selepas magrib kami kami telah mencapai pasar Pangalengan dan langsung bertolak menuju secretariat.
            
Aku berharap perjalanan ini menjadi awal dan pondasi bagi anggota muda Astacala untuk menciptakan perjalanan-perjalanan besar di kemudian hari. Semoga generasi-generasi baru yang lebih baik berdiri di atas kuburan kami dan membangun candi yang telah diawali oleh para pengangkut batu yang mungkin mulai mati.

No comments:

Post a Comment