Gunung
Salak, merupakan sebuah bentukan bumi yang mengerucut dengan dua puncakannya
yang terletak di kabupaten Sukabumi. Puncak Salak I dengan ketinggian 2210 mdpl
merupakan puncakan Salak yang sering didaki, sedangkan Puncak Salak II memiliki
ketinggian 2180 mdpl. Gunung salak termasuk dalam wilayah Taman Nasional Gunung
Halimun Salak.
Hari
itu aku bersama seorang sahabat membulatkan tekat untuk mendaki gunung yang
dikenal angker itu. Hanya berdua. Perjalanan ini bisa jadi merupakan perjalanan
terakhir dengannya mengingat sahabat ini lebih dulu menyelesaikan kuliahnya
mendahului aku yang bisa diartikan bahwa dia akan berganti dunia. mulai
merangkak menuju dunia luar yang lebih luas, mengambil tanggung jawab baru yang
akan menyita banyak sekali waktunya. Walaupun aku berharap ini bukan yang
terakhir. Dan aku percaya ini bukan perjalanan terakhirku bersamanya.
Langkah
kami dimulai dari pos pendakian gunung Salak di Bumi Perkemahan Cangkuang,
Cidahu. Setelah menyelesaikan perizinan kami berhenti sejenak di sebuah warung
untuk mengisi perut, kemudian menyusuri jalan beraspal hingga pintu masuk jalur
pendakian gunung Salak. Selepas pintu
masuk pendakian, medan berubah menjadi jalan setapak menanjak dengan batu-batu
yang tersusun rapi. Sejauh ini kami masih melalui jalur yang benar, sama
seperti jalan setapak yang tergambar di peta yang kami bawa.
Jalan
berbatu kini bergantu dengan jalan setapak dengan lumpur di beberapa titik.
Karakteristik tumbuhan berganti menjadi lebih lebat dan bersemak. Tak lama
berjalan, jalur menjadi semakin menanjak dan terlihat seperti aliran air. Kami
masih yakin bahwa jalur ini benar karena setiap seratus meter terdapat patok
beton bertuliskan angka yang memberi informasi seberapa jauh kita telah
melangkah.
Sampailah
pada satu tempat yang agak luas, kalau tidak salah di sekitar tempat itu
terdapat patok bertuliskan angka 19. Seperti biasa kami melakukan orientasi
untuk mengetahui dimana posisi kami. Seketika itu juga kami sadar bahwa jalur
yang kami lalui bergeser beberapa puluh meter dari jalur yang tergambar di
peta. Persediaan air kamipun menipis, dan pertigaan yang menurut informasi
merupakan sumber air terakhirpun tak kunjung kami lalui. Kami berinisiatif
untuk menuruni punggungan mengikuti jalur air, di sebelah kiri jalur yang
terlihat cukup terjal. Susah payah kami turun hingga terpeleset beberapa kali.
Tibalah kami di jalan setapak yang lebih kecil dari jalan kami tadi. Tak
beberapa jauh berjalan, akhirnya kami menemukan sungai kecil yang cukup jernih.
Tak ayal kamipun mengisi jerigen dan tempat air yang kami bawa.
Setelah
air kami pindahkan ke penampungan, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan
baru yang kami temui. Tak lama berselang kami tiba disuatu tempat yang lapang
dengan rumput yang menguning dan semak semak dengan tanah yang berair di
sekelilingnya. Jalan yang kami susuri berhenti di tempat itu, hilang. Kami
beristihat sejenak menghilangkan kebingungan, lalu berpencar mencari jalan yang
benar namun tetap tidak menemui titik terang. Kami sempat potong kompas
mengikuti punggungan yang menurut peta mengarah ke puncak namun medan di depan
semakin mustahil untuk didaki.
Hari
mulai gelap, bukan hanya karena mentari yang semakin condong ke barat namun
juga karena kabut dan awan mendung yang mulai menutupi kawasan gunung Salak. Kami
masih berkutat dalam punggungan yang tak berarah. Atas pertimbangan waktu,
kamipun memutuskan untuk kembali ke jalur awal. Hari semakin sore, langit
semakin gelap, mendung semakin menggantung. Jalan yang kami lalui tadi menjadi
samar. Kami kesulitan mengendus jejak awal kami. Semua ini menyadarkan kami
pada suatu hal, doa. Sedari berangkat kami terlena dengan petualangan yang akan
kami temui, hingga kami melupakan hal manusiawi yang seharusnya dilakukan oleh
kami sebagai manusia yang punya sang pencipta.
Setelah
kami berdoa dalam hati kami masing-masing, tanpa sengaja jejak awal kami
terlihat berupa semak-semak yang tunduk ke tanah seperti telah diinjak-injak
oleh sesuatu. Setelah lamat-lamat kami perhatikan, kemudian kami yakin jika ini
memang jalan yang tadi kami lewati. Beberapa saat kemudian kami bersusah payah
mendaki bentukan yang sepertinya memang jalur air yang licin dan gembur. Dengan
rasa lelah yang amat sangat, sampailah kami di jalur awal kemudian beristirahat
sejenak. Tawa lepas tak tertahan keluar dari mulut kami menganalisa apa yang
baru saja terjadi dan kami sepakat untuk tidak membahasnya hingga tiba kembali
ke peradaban.
Waktu
tak dapat berhenti, hari menjadi gelap dan memaksa kami untuk bermalam, namun
bentukan gunung Salak dengan punggungan
tipis tidak memberikan banyak pilihan tempat camp dan memaksa kami untuk
terus melangkah mencari tempat camp. Sempat kami bertemu kelompok pendaki yang
sedang turun dan menanyakan keberadaan tempat yang memungkinkan untuk
mendirikan camp. Akhirnya kami tiba di sebuah hamparan tanah datar yang tidak
luas, hanya sanggup menampung dua tenda kapasitas dua orang, itupun terpisah.
Tanpa
ada yang mengkomandoi, kegiatan pembuatan shelter pun mengisi waktu
selanjutnya. Pengumpulan ranting untuk kayu bakar, masak, dan pengaturan camp
sudah menjadi hal yang biasa bagi kami. Api selesai, makanan pun telah matang.
Kami menyantap tenpe goreng dan nugget dilengkapi dengan sayur asem dan kerupuk
udang dan setelahnya menikmati hangat api unggun serta seduhan kopi dan
tembakau.
Tak
lama setelah acara nongkrong berlangsung, hujan turun dengan deras ke permukaan
tanah disertai kilat yang saling bersautan. Air mengalir deras di sekitar
tendamembuat kami wajib memperbaiki parit. Hujan tak kunjung reda, suara petir
semakin sering menyapa kami. Ketika kami mematikan headlamp, fenomena yang
menakjubkan terjadi. Dari luar tenda cahaya kilat menyala bagai blitz foto.
Begitu seringnya hingga rasa kagum itu berubah menjadi khawatir. Pikirku
melayang tentang pohon-pohon di sekitar camp, apakah kuat atau tudak menahan
gempuran angin dan energy elektrik dari kilat? Kami mengikhlaskan semua pada
sang pencipta, dan aku menjadi mengerti apa arti penyerahan diri pada Tuhan.
Kita semua adalah makhluk lemah, tak ada daya dihadapanNya.
Pagi
menjelang, sahabatku ini telah sibuk dengan bahan makanan dan trangia. Aku membiarkan mata ini terbuka
dengan sendirinya tanpa paksaan. Kuperhatikan langit di luar masih mendung,
seolah bersiap menurunkan tetesan air. Gunung Salak masih dengan pohon dan
semaknya yang rapat. Dengan santai kamipun menyelesaikan kegiatan makan dan
packing. Hari ini target kami adalah puncak Salak I.
Jalan
semakin terjal dan punggungan semakin tipis. Beberapa titik terdapat tanjakan
yang telah tergantung webbing atau tambang di permukaannya mengisyaratkan
betapa sulit medan di depan sehingga harus dibantu. Patok demi patok telah
terlewati dan akhirnya sekitar pukul 13.00 atau 4 jam perjalanan sampailah kami
di puncak Salak I.
Ya, puncak. Tempat tertinggi dari sekitarnya. Tempat dimana kami berdua merasa raja, sang penguasa jelata. Seperti kehidupan, kami akan menuju puncaknya. Puncak kejayaan. Kami akan terus berjuang melawan badai hidup, semak cobaan, dan terjal kemunafikan. Dan kami akan bertemu di puncak kehidupan yang sebenarnya.
Ya, puncak. Tempat tertinggi dari sekitarnya. Tempat dimana kami berdua merasa raja, sang penguasa jelata. Seperti kehidupan, kami akan menuju puncaknya. Puncak kejayaan. Kami akan terus berjuang melawan badai hidup, semak cobaan, dan terjal kemunafikan. Dan kami akan bertemu di puncak kehidupan yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment