Mentari telah singgah ke peraduannya
di ufuk barat bumi. Aku baru saja tiba di base camp panitia, sebuah rumah kecil
yang terbuat dari kayu dengan lantainya yang menggantung 50 cm di atas tanah.
Kami menumpang rumah warga setempat untuk bermalam sekaligus menjadikannya base
camp. Kami di sini, terlibat dalam suatu acara bertajuk pengabdian masyarakat dari Astacala untuk Cimonyong. Mencoba
berbagi dengan keterbatasan dan kelebihan yang kami punya.
Dusun itu
bernama Karang Sari, namun dahulu kala wilayah tersebut dikenal dengan nama
Cimonyong. Konon nama tersebut diperoleh dari perilaku penduduk sekitar yang
kerap memajukan mulut mereka (monyong) untuk meniup tungku berbahan bakar kayu
kering. Dusun yang indah dengan 3 air terjun dan rimba yang masih terjaga
dengan arifnya. Dimana kita bisa mengintip laut di antara bukit yang menjulang.
Jauh dari aroma modernisasi dan segenap kemunafikan yang dilahirkannya. Ketika
pagi hari, matahari menelusupkan sinarnya dengan indah di sela padi yang mulai
menguning.
pemandangan sawah |
SD Cimonyong |
terasering |
Dusun itu seperti terisolir. Akses
menuju kesana sangatlah sulit. Jalan berbatu dengan kemiringan hampir 45
derajat terbentang menuju dusun. Namun penduduk disana sudah terbiasa dengan
segala rintangan tersebut. Bagai naik jet coaster tanpa asuransi rasanya
menumpang sepeda motor warga yang dengan lincah menyusuri jalan diantara tebing
dan jurang.
Mungkin bagi
orang lain dusun ini adalah daerah miskin, tertinggal, dan menyedihkan. Tapi
bagiku, dusun ini kaya. Lebih kaya dari pada penduduk kota. Lihat saja, mereka
tidak perlu membayar listrik untuk menerangi hunian mereka. Itu karena mereka
memanfaatkan energi potensial dari air terjun untuk memutar turbin. Mereka
tidak perlu membayar PDAM untuk mendapatkan air bersih untuk konsumsi, karena
air jernih mengalir beriringan di sungai yang ada di sisi dusun. Dan mereka
tidak perlu membeli AC untuk menyejukan udara, semua fresh. Mereka dapat
memenuhi kebutuhan mereka dengan mengandalkan hara, karunia sang pencipta.
sungai yag mengalir |
jalan menuju air terjun |
Selama 4
hari kami tinggal bersama penduduk sekitar, panitia disebar ke sejumlah rumah
warga untuk tinggal dan merasakan kehidupan di dusun itu. Kami juga mengadakan
kegiatan mengajar murid-murid SD, menanamkan pentingnya kelestarian alam kepada
jiwa-jiwa muda yang masih bersih. Khusus kelas 4 sampai 6, kami mengadakan
acara menginap di sekolah dimana agendanya antara lain belajar, bermain,
pemutaran film, dan outdoor games. Selain itu kami mengadakan penyuluhan bagi
penduduk sekitar tentang pemanfaatan energi dan efisiensinya. Dan sebagai acara
puncaknya adalah peresmian perpustakaan yang bukunya kami peroleh dari hasil
sumbangan para dermawan serta sunatan massal.
Sore itu,
setelah lelah bermain bersama murid-murid SD, kami melepasnya dengan bermain
voli bersama warga. Keceriaan tak habis-habisnya tersibak pada wajah-wajah kota
yang gemar berpetualang ini. Diiringi kilauan pelangi yang mengantung serta
awan merah senja yang menjadi latarnya, kami semua menyatu dalam suasana
kebersamaan yang hangat.
Ibu-ibu
setempat selalu menyiapkan makanan untuk kami. Jangan bayangkan makanan kota
seperti ayam goreng atau rendang. Disini kami mendapati makanan yang lebih
enak. Sayur jantung pisang, sayur pisang, tahu dan tempe goreng, pepes ikan
mas, leunca, sayur pakis, pepes tahu, dan yang pasti membuat rindu adalah
sambal hasil karya ibu-ibu setempat. Rasanya dijamin tidak akan bisa ditemui
dimana-mana.
Satu-satunya
yang tidak menyenangkan adalah perpisahan. Betapa kami ingin lebih lama lagi
berada disana. Menikmati sejuknya udara, harumnya keramahtamahan, serta
kehangatan warga-warganya. Betapa kami akan merndukan tawa anak-anak SD yang
kami ajar, aroma nasi yang mengepul, buah karya ibu-ibu dusun Karang Sari. Kami
berterimah kasih kepada warga disana atas banyak pelajaran yang mereka berikan.
Semoga apa yang kami sedikit tinggalkan disana menjadi sesuatu yang bermanfaat
dan akan terus diingat.
No comments:
Post a Comment