Tuesday, May 21, 2013

Romantika di pegunungan tenggara ibukota


Sepertinya mobil yang ku tunggu tiba. Mini bus silver dengan kaca di samping supir yang terbuka berjalan lambat menyelinap disela-sela kendaraan yang terparkir, mencari tempat yang telah kami sepakati sebagai meeting point. Dan tampak dari kejauhan mobil itu berhenti di sebuah warung yang berada di area parkir kawasan cibodas, tempat pendaki biasa beristirahat sebelum memulai pendakian. Tak lama kemudian, beberapa orang keluar dari mobil itu. Salah satunya adalah seseorang yang membuat udara dingin malam itu mendadak hangat dan suasana malam yang riuh oleh celotehan para pendaki menjadi terasa hening di telingaku. Seseorang yang telah lama ku nanti sosoknya dengan sorot mata sayu yang mampu menyelami setiap seluk kehidupan. Seseorang yang dengan ajaib memaksa kornea mataku menjadi seperti teropong senapan seorang penembak jitu yang tak akan melepaskan jangkauan lensa dari intaiannya. Seseorang yang mampu memutar arah angin hingga menuju ke sisi barat.

eidelweiss dengan kompas dan embun yang menggantung
Mereka beringsut masuk kedalam warung, Tinggal seorang sahabat yang aku kenal berdiri di sisi mobil. Pay namanya. Aku yang sedari tadi menunggu di warung lain perlahan melangkah menghampirinya. Dengan sengaja aku membuatnya terkejut.

“woy, ngapain lu?”, seruku seraya menyelipkan senyum.

Kamipun terlibat percakapan hangat. Namun tidak dengan mataku. Sepasang bola bulat yang terpasang di tulang tengkorakku ini bergerak menyapu remang area warung dari tempat parkir untuk menemukan sosok yang sedari tadi aku tunggu dengan cemas, bahagia, dan entah rasa apa lagi yang tercampur di dalamnya.

"mungkin masih di dalam warung." aku menghibur diri.

Pecahnya canda antara aku dan Pay mengundang sahabatku yang lain serta ketiga orang yang asing bagiku yang selanjutnya akan ikut nanjak dan menjadi satu tim bergerak mendekat, ikut bergabung. Mereka adalah Toms, Ako, Roy, dan Jaya. Dan obrolan ringanpun hadir memecah dingin dimalam itu.

“dimana dia?”, aku membatin.

Dia belum berada ditengah-tengah kami. Beberapa pertanyaan bermain di dalam otakku. Beberapa pertanyaan yang segera menghilang setelah sesosok tubuh melingkarkan tangannya dari belakang. Pelukkannya menembus tebalnya carrier yang melekat di punggung. Segala dialog yang terlontar kepada ku seperti membisu. Aku hanya bisa mendengar kalimatnya. Otakku hanya bisa merekam kalimat, “gw kangen sama Muron” yang terlontar dari lidahnya, entah hatinya. Mungkin kata-kata itu terdengar begitu wajar bagi mereka, bahkan baginya. Namun bagiku kalimat itu layaknya hujan setelah terik sepanjang hari yang menguapkan unsur air dimanapun berada. Senyumnya, matanya, masih sama seperti kami bertemu pertama kali di gunung yang sama, dalam aroma yang sama, serta rasa yang sama. Hanya saja sang angin barat kali ini terlihat lebih subur, hehe.

Setelah mengisi perut, menitipkan mobil, mengurus perizinan, serta remeh temeh yang lain, kami memulai pendakian. Atas pertimbangan waktu dan kemampuan, kami memutuskan untuk jalan pada malam hari agar tercapai target sampai di Surya Kencana esok sorenya. Kami bertujuh menyusuri jalan setapak hutan yang gulita. Untunglah, sinar purnama berbaik hati menyelinapkan sinarnya diantara ranting-ranting dan dedaunan hingga menembus ke tanah yang kami pijak sehingga menambah jarak pandang kami ditengah rimba sekaligus membuat suasana menjadi melankolis. 

Aku berusaha memposisikan gerak langkah kaki ku agar tidak terlalu jauh darinya, dari sang sayu. Terlalu sayang jika momen seperti ini dilalui tanpa melihat rautnya sepanjang waktu. Persetan dia peduli atau tidak. Headlampku selalu mengarah ke tanah tempat dia akan berpijak. Ingin rasanya kukatakan jika aku tak hanya ingin menerangi jalannya dalam arti sebenarnya, tapi juga ingin menyinari jalannya dalam arti yang lebih mendalam, yaitu hidupnya. Ingin sekali membuatnya selalu bersinar bagai rembulan yang bulat sempurna malam ini, yang menyinari setapak ini dengan elok.

Kami terus bergerak menembus pekat. Dan sang angin sayu itu masih terus berada di sisiku. Di sebuah shelter bertuliskan Panyangcangan kami beristirahat sejenak. Selagi yang lain beristirahat, aku turun ke sungai untuk mengisi air. Sekembalinya aku dari sungai, aku melihat seraut wajah itu memejamkan matanya dengan polos. Damai sekali. Setelah dirasa cukup, perjalanan kami lanjutkan. Trek selanjutnya tak lagi landai. Udara yang tipis akibat ketinggian dan lebatnya pepohonan yang memangkas konsumsi oksigen kami membuat kami cepat lelah. Beberapa kali aku melihat dia tersengal, hingga bulir keringatnya jatuh ke tanah. Kondisi yang lain tidak jauh berbeda. Kami butuh tidur. Akhirnya di sebuah tempat yang datar kami mendirikan tenda.

Di sela sela pendirian tenda Tom tanpa sizin dariku menceritakan kondisiku yang harus meninggalkan beberapa urusan di Bandung untuk ikut serta dalam pendakian ini.

Tanpa pernah ku duga terselip kata dari mulutnya, “Yah, tau gitu gua ga ikut dah.”

Dan aku hanya bisa menjawab, “tenang, semua udah diatur.” 

Namun dalam hati ingin sekali berkata lebih dari yang telah terlontar. Aku ingin menjelaskan betapa lebih pentingnya dia. Menjelaskan sejelas-jelasnya betapa dialah kini yang merajai setiap detik disegala aspek kehidupanku. Dan betapa dialah orang yang dengan mudah menghancurkannya kapanpun dia mau. 

Malam perlahan mendekati sang fajar. Bintang gemintang perlahan meninggalkan panggung pertunjukan angkasa satu persatu. Menyisakan sang venus yang akan keluar terakhir dari arena. Semuanya telah tertidur, kecuali aku. Bersyukur atas apa yang Tuhan berikan malam ini. Tentang matanya, tentang hangat yang tiba-tiba merenggut dingin suasana, dan tentang semburat senyuman, bagai puncak Gede yang dihujani gemintang dan sinaran penguasa malam.

Pagipun tak terbendung untuk singgah dengan kabutnya yang menggantung, sinar mentari yang menelisik ranting, serta sang embun yang senantiasa bergelayut di ujung dahan. Segera aku persiapkan perkakas memasak dan memainkannya. Tak butuh waktu lama, hidangan pengisi tenagapun siap. Satu persatu kepala muncul dari balik tenda dengan wajah yang masih layu dan sayu. Setelah makan dan packing yang disertai celoteh humor dari masing-masing kami, perjalananpun dilanjutkan. Target hari ini adalah lembah Surya Kencana.

Hari itu jalur pendakian ramai. Pendaki-pendaki dari berbagai usia, golongan, gaya, serta motivasi memenuhi jalur menuju puncak gunung yang berada di sisi tenggara ibu kota ini. Apakah ada yang sama dengan motivasiku? Entahlah. Awalnya kami berjalan beriringan. Karena perbedaan tenaga dari masing-masing kami, akhirnya kami menentukan beberapa meeting point untuk menunggu yang lain yang masih tertinggal. Aku tetap berusaha untuk dekat dengannya, mata itu. Memaksimalkan waktu yang berputar untuk merekam setiap gurat wajahnya. Ketika dia diam, aku berhenti. Ketika dia berlari, senantiasa ku kerahkan seluruh tenaga untuk menyusulnya meski carrier di punggung menggelayut tanpa mau berkompromi untuk mengurangi bebannya. Aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku ingin menyertainya dalam keadaan terburuk sekalipun.

Sampai di pos air panas aku memutuskan untuk mendahului yang lain sampai di pos kandang badak untuk segera mendirikan shelter disana sebagai tempat beristirahat, meninggalkan sang angin sayu di barisan belakang. Tak apalah, mengingat jarak antara kedua pos ini tidak terlalu jauh. Tak ku duga, hujan deras menyapa di tengah perjalanan membuat carrier ini menjadi lebih berat dari saat kondisi kering.

Sampai di pos kandang badak lembaran flysheet segera terbentang. Cukup lama juga aku menunggu barisan belakang datang. Harap cemas penasaran menunggu sang pemilik mata sayu itu datang. Segera aku panaskan air untuk menghangatkan tubuhku dan temanku. Sesaat kemudian rombongan terakhir datang. Dan semua baik-baik saja. Kamipun beristirahat untuk memulihkan kembali kondisi kami dengan air hangat dan mie instan. Tak ketinggalan canda tawa yang keluar secara alami dari tubuh-tubuh yang lelah ini.

Perjalanan kami lanjutkan menuju puncak Gede.

Di perjalan menuju puncak, hujan kembali turun membasahi apapun yang berada di bawahnya. Dengan sigap kami mengenakan pakaian anti hujan masing-masing, entah itu jas hujan, ponco, dan ada pula yang memakai trash bag sebagai penangkal hujannya. Dia dengan mata yang masih sayu itu memakai bagian atas dari jas hujan. Entah mengapa butir air yang menggantung di dagunya selalu menarik perhatianku. Hujan yang turun memaksa kalori di tubuh kami cepat menguap dan membuat kami menggigil serta lelah. Walaupun sempat berhenti sejenak untuk menyeduh kopi di beberapa titik, dingin yang menggerayangi tubuh kami tak kunjung pergi. Akumulasi dari semua itu adalah waktu tempuh kami untuk sampai ke tujuan menjadi lama.

Kami sampai di puncak gunung Gede selepas magrib. Pemandangan sunset yang mengumpat di balik Pangrango menjadi salah satu obat penghilang lelah kala itu. Dan angin berhembus damai tanpa bising namun dingin. Berlanjut menelusuri jalan menurun dan berbatu hingga sampai ke lembah Surya Kencana. Ya, turun lagi. Karena lembah yang kami tuju itu berada di balik puncak Gede. Jaya tampak sangat kelelahan, dan mau tak mau berjalan lambat. Sesampainya di lembah Surya Kencana, padang rumput yang ditumbuhi Eidelweiss itu telah penuh oleh pendaki yang lebih dulu sampai. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di tengah-tengah Eidelweiss dimana lahan datar di tempat tersebut terbatas.

Semua bergerak, aktivitas camp pun tanpa komando dilakukan. Setelah tenda berdiri, flysheet terbentang, dan logistik sudah mengisi penuh lambung, semua bebas melakukan apapun. Seperti biasa, aku menyempatkan diri duduk di luar tenda ditemani Pay dan kombinasi antara tembakau, coklat, serta kafein di udara terbuka, untuk menikmati suasana yang entah kenapa betapapun seringnya aku kesini suasana itu pasti berbeda. Kali ini suasana Surya Kencana sangatlah emosional. Bulan sempurna diselimuti awan tipis, gemintang yang tak habis-habisnya pada suatu bilangan, bunga eidelweiss yang putih mengkilat seperti menyala, serta angin yang perlahan berhembus ke arah barat. Aku dan sahabatku meracau semaunya, entah apa topiknya malam itu yang jelas kami berdua merasa damai.

Sayang, sang pemilik mata sayu nan berhembus dari barat itu tidak berada di sisiku. Aku membayangkan kami berdua dalam satu matras yang tergelar di padang rumput dengan beribu eidelweiss. Setelah itu aku ingin bercerita. Ya, bercerita. Bercerita apa saja. Bercerita tentang tebing-tebing cadas di sisi Surya Kencana yang entah mengapa setia melindungi sang eidelweiss dari terpaan angin liar. Bercerita tentang sang rembulan yang entah mengapa dalam waktu berkala mengunjungi sang malam betapapun dia tahu sang surya akan memonopoli semua cahaya saat fajar menyingsing. Bercerita tentang rumput-rumput yang tidak peduli dengan nasibnya yang harus membeku setiap harinya di lembah ini.

Aku tidak peduli dengan perbincangan siapapun malam itu. mungkin pemahamanku tentang sosialisasi spontan mengalami kemunduran. Seketika bibir sang sayu dari barat itu berceloteh dan membuatku getir.

“tar muron tidur sebelah gw yak” celotehnya.

Terasa pahit, karena yang berbicara adalah sosok yang kini terlarang buat ku. Kenapa? Biar aku ceritakan pada kalian semua sebabnya. Biar kalian ikut mengerti betapa kehidupan ini terkadang menyimpan pahit dibalik manis. Karena dia adalah gadis yang memberiku rangkaian pertanyaan – pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya oleh otak ini. Ya, pertanyaan-pertanyaan tentang perasaan. Rasa sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, melindungi, memberi, binar dan pengorbanan yang entah apakah memiliki batasan dan harga. Pun dengan rasa yang entah apa namanya yang merangkum semua perasaan diatas menjadi satu kesatuan. Gadis yang memaksaku mencari jawaban atas pertanyaan “bukankah dengan berlalunya waktu semuanya seperti gelas kosong yang berdebu?”. Karena gadis itulah yang telah menghabiskan kata kesempatan dengan mengambil keputusan untuk dirinya. Kalian mengerti? Tidak? Boleh jadi hanya gadis itu yang mengerti mengapa ia menjadi terlarang untuk ku.

Dingin kian mencengkeram setiap sudut tubuh ku dan Pay. Kami pun memutuskan untuk pindah ke teras tenda untuk menyeduh minuman hangat dan memasak spaghetti. Sang mata sayu dari baratpun terbangun dan bergabung bersama kami dalam acara masak-memasak amatir ini sementara yang lain telah senyap. Tak lama berselang hujan turun dengan derasnya di lembah yang penuh dengan pendaki itu. Aku khawatir dengan camp yang kami buat mengingat tempatnya yang agak miring berpotensi menjadi aliran air sewaktu hujan. Benar saja tenda lafuma summer ¾ yang berisi 4 orang banjir. Parit yang ku buat tak mampu membendung aliran air. Tenda itu dievakuasi, bergeser beberapa meter agar tidak dilalui oleh aliran air. Selagi aku mengevakuasi tenda kuning itu, aku melihatnya masih memasak spaghetti. Aku tersenyum entah karena apa. Gila mungkin.

Setelah semua dirasa aman, aku kembali ke dalam teras tenda yang terbuat dari flysheet ini. Berbincang dengan anggota evakuasi, yaitu orang-orang yang tiddur dalam tenda kuning, lalu makan spaghetti yang sedari tadi membuat liur ini mengalir. Satu persatu teman-temanku masuk tenda, tak sanggup lagi melihat padang eidelweiss yang basah namun indah ini karena terhalang oleh lelah dan kantuk. Akupun tak kuasa lagi menahan dingin dan segera memasuki tenda biru berkapasitas tiga orang. Jaya sudah ngetem di sisi ujung terlebih dahulu. Mau tidak mau aku di tengah. Tak lama kemudian hiruk pikuk kembali lengang. Semua kembali ke tenda kecuali Tom yang entah apa alasannya bertahan di luar tenda.

Dia berada disebelahku. Entah bagaimana aku harus meneruskan tulisan ini. Entah kata-kata apa yang harus ku rangkai agar kalian mengerti apa yang terjadi dengan pemahaman yang aku inginkan. Waktu serasa berjalan sangat lambat. Sangat lambat. Aku dan sang angin sayu menggigil, dan saling mencari kehangatan. Menindih kaki, berhimpit, bergerak resah. Entahlah, apa aku tidur malam itu, atau malah terjaga dengan nafas hangat. Yang kurasakan saat itu adalah nafas cepat memburu seperti pelari. Entahlah. Apa aku tidur malam itu atau terjaga dengan nafas hangat. Aku tidak bisa memastikan. Apakah aku berada di tepi bulan penuh malam ini atau terjungkal pada bintang yang membentuk formasi acak? Entahlah. Yang ku tahu waktu berjalan begitu lambat malam itu. Mungkin suatu saat gadis itu bisa bercerita padaku. Dan aku sangat ingin ia bercerita.

Mentari mulai menampakkan kehadirannya. Bulan penuh bekas semalam masih tergantung di langit. Kabut tipis berlarian diatas tanah penuh tenda. Embun pagi bergelantungan di ujung-ujung eidelweiss dan apapun yang berada di sana. Bagi ku pagi di Surya Kencana selalu indah. Pagi, berarti suatu malam yang dingin, gerak resah, sesak, kerinduan dan helaan yang tertahan terlampaui. Pagi, dimana janji-janji baru bermunculan bak bunga rekah, mimpi-mimpi baru terajut, dan satu hari yang melelahkan akan segera kita lalui.

Aku, mata sayu dari barat, dan Tom telah terbangun. Entahlah, mungkin aku memang tidak tidur. Mungkin dia memang tidak tidur. Mungkin kami berdua terjaga di pelukan lembah nan damai itu. Pagi itu kegiatan diisi dengan bersantai, menikmati riuh lembah, memasak dan packing. Tak ada lagi cerita malam. Dan memang aku tak tahu apa yang terjadi semalam. Semua berganti dentum takjub terhadap ukiran sang pencipta yang terpajang jelas di depan mata. Entah karena lelah atau karena memang belum tidur, aku terlelap ketika pagi mendekati batasnya.

Ketika aku bangun, matahari memberikan tanda bahwa hari mulai siang. Kami bergegas untuk packing dan cleaning sampah-sampah yang tercecer. Setelah semua beres, kami mulai mengangkat kaki meninggalkan lembah yang entah bagaimana dia melakukannya, selalu indah ketika aku datang. Tak lupa di momen terakhir kami mengambil gambar untuk kenang-kenangan.

Perjalanan dari Surya Kencana menuju jalur pendakian menanjak. Ya, karena memang lembah itu berada di balik puncak. Kami harus mendaki puncak terlebih dahulu untuk selanjutnya kembali turun melalui jalur yang kemarin. Tidak terlalu sulit namun melelahkan. Untung aku punya strategi mendaki yang efektif sehingga dengan tenaga yang optimal bisa melangkah secara maksimal. Beberapa kali sang angin nan sayu memberiku coklat buatannya. Coklat yang mampu menambah tenaga, bukan hanya riil, namun juga moril. Dan sampailah kami di puncak Gede, 2958 mdpl.

Diperjalanan turun dari puncak, aku terus mencoba bersisian dengannya. Mencoba sebuah perbincangan ringan untuk mencairkan suasana. Ketika melewati kawah, aku melihat pemandangan yang belum pernah aku sasksikan selama ini. Tak ada kabut di sekitar kawah, bersih, hingga dasar kawah terlihat. Aku baru tahu ternyata kawah itu memiliki air berwarna hijau. Aku jadi teringat pesan ibuku beberapa bulan yang lalu.

“tar kalo liat kawahnya fotoin ya…” gumam ibu.

Dan kini aku berada di sisi atas kawah yang terlihat jelas itu. Segera aku meminta Jaya mengambil foto dengan latar kawah.

Perjalanan pulang yang sebenarnya lama, tapi buatku ini terlampau cepat. Aku terus menyertainya. Jika tidak di depannya, di belakang, atau di sisinya. Aku tidak mau semua ini terlewatkan dari rekaman otakku. Biarlah nantinya rekaman ini sebagai obat penawar ketika rasa-rasa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan itu datang lagi. Mungkin tak akan ada lagi kesempatan seperti ini nantinya, sebesar apapun keinginanku. Dan mungkin ini kali terakhir. Tak ada yang tahu.

Kami sempat berendam di air panas. Pay dan Jaya segera menyeburkan diri setibanya di sana. sang angin barat itu riang berkecipak dengan air, menggoda Pay yang kerontang dengan tulang-tulang yang menyembul.  Aku hanya terdiam melihat segala keriangan ini. Ya, aku hanya ingin diam. Dan mungkin untuk seterusnya aku hanya berdiam menyikapi kelanjutan dari seluruh rangkaian tanda tanya ini sampai ada yang bertanya.

Hari mulai gelap. Penerangan pun mutlak harus dinyalakan. Terbatasnya cahaya, tubuh yang mulai melemah, rasa lelah, semua itu membuatnya berjalan terhuyung. Beberapa kali keseimbangannya buyar dan terjatuh. Astaga, jika di perbolehkan, ingin sekali aku membawakan bebannya. Namun itu sepertinya mustahil. Dia bukanlah seperti gadis biasanya yang kalah terhadap terpaan fisik. Dialah angin bermata sayu ku. 

Ditengah perjalanan, kami berdua mendengar suara burung yang aneh. rasa takut memburu sekujur tubuhnya. Dia merangkai tangannya ke tanganku. menyeretku untuk lebih cepat. Ketakutan. Betapa ketakutan mampu merangkai kami. 


Akhirnya kami tiba di pos terakhir. Setelah membereskan administrasi dan meminum beberapa gelas teh hangat kami berjalan menuju parkiran. Dan aku berjalan bersisian dengan pemilik mata sayu nan sendu itu di belakang, menyusuri toko-toko yang mulai tutup di tepian jalan. Menyisakan beberapa toko dengan baju-baju bertuliskan Adventur, Hiking, Climbing, dan apapun yang berhubungan dengan kawasan itu. Memoriku buncah mengingat kenangan-kenangan masa kanak-kanak dulu di tempat ini. Ah.., jalanan ini mengapa begitu pendek. Aku ingin berjalan seperti ini lebih lama. Lebih lama.

Berakhirkah kebersamaan ini? Ah, Tuhan, tolong jangan lagi kau hadirkan perasaan yang mulia ini jika engkau tidak ingin melengkapinya dengan kebersamaan. Jalan setapak itu, lembah eidelweiss itu, bulan yang menggantung itu, akan menjadi catatan dinding yang akan bercerita tentang masa-masa ini ketika aku datang kembali. Mungkin setelah semua ini, semuanya menjadi sangat berbeda. Mungkin pemahamanku akan semua pertanyaan yang pernah terpikirkan akan berubah. Entahlah. Bukankah dengan berjalannya waktu semua seperti gelas kosong yang berdebu? Bukankah kesempatan akan terbunuh oleh keputusan? Entahlah. Mari kita serahkan semuanya pada sang waktu yang bijak menjawab seluruh pertanyaan.










4 comments: