Sepertinya
mobil yang ku tunggu tiba. Mini bus silver dengan kaca di samping supir yang terbuka
berjalan lambat menyelinap disela-sela kendaraan yang terparkir, mencari tempat
yang telah kami sepakati sebagai meeting
point. Dan tampak dari kejauhan mobil itu berhenti di sebuah warung yang
berada di area parkir kawasan cibodas, tempat pendaki biasa beristirahat
sebelum memulai pendakian. Tak lama kemudian, beberapa orang keluar dari mobil
itu. Salah satunya adalah seseorang yang membuat udara dingin malam itu
mendadak hangat dan suasana malam yang riuh oleh celotehan para pendaki menjadi
terasa hening di telingaku. Seseorang yang telah lama ku nanti sosoknya dengan
sorot mata sayu yang mampu menyelami setiap seluk kehidupan. Seseorang yang
dengan ajaib memaksa kornea mataku menjadi seperti teropong senapan seorang
penembak jitu yang tak akan melepaskan jangkauan lensa dari intaiannya.
Seseorang yang mampu memutar arah angin hingga menuju ke sisi barat.
eidelweiss dengan kompas dan embun yang menggantung |
Mereka
beringsut masuk kedalam warung, Tinggal seorang sahabat yang aku kenal berdiri
di sisi mobil. Pay namanya. Aku yang sedari tadi menunggu di warung lain perlahan melangkah
menghampirinya. Dengan sengaja aku membuatnya terkejut.
“woy,
ngapain lu?”, seruku seraya menyelipkan senyum.
Kamipun
terlibat percakapan hangat. Namun tidak dengan mataku. Sepasang bola bulat yang
terpasang di tulang tengkorakku ini bergerak menyapu remang area warung dari tempat parkir untuk
menemukan sosok yang sedari tadi aku tunggu dengan cemas, bahagia, dan entah
rasa apa lagi yang tercampur di dalamnya.
"mungkin masih di dalam warung." aku menghibur diri.
Pecahnya canda antara aku dan Pay mengundang sahabatku yang lain serta ketiga orang yang asing bagiku
yang selanjutnya akan ikut nanjak dan
menjadi satu tim bergerak mendekat, ikut bergabung. Mereka adalah Toms, Ako, Roy, dan Jaya. Dan obrolan ringanpun hadir
memecah dingin dimalam itu.
“dimana
dia?”, aku membatin.
Dia belum berada ditengah-tengah kami.
Beberapa pertanyaan bermain di dalam otakku. Beberapa pertanyaan yang segera
menghilang setelah sesosok tubuh melingkarkan tangannya dari belakang.
Pelukkannya menembus tebalnya carrier
yang melekat di punggung. Segala dialog yang terlontar kepada ku seperti
membisu. Aku hanya bisa mendengar kalimatnya. Otakku hanya bisa merekam kalimat,
“gw kangen sama Muron” yang terlontar dari lidahnya, entah hatinya. Mungkin
kata-kata itu terdengar begitu wajar bagi mereka, bahkan baginya. Namun bagiku
kalimat itu layaknya hujan setelah terik sepanjang hari yang menguapkan unsur
air dimanapun berada. Senyumnya, matanya, masih sama seperti kami bertemu
pertama kali di gunung yang sama, dalam aroma yang sama, serta rasa yang sama.
Hanya saja sang angin barat kali ini terlihat lebih subur, hehe.
Setelah
mengisi perut, menitipkan mobil, mengurus perizinan, serta remeh temeh yang
lain, kami memulai pendakian. Atas pertimbangan waktu dan kemampuan, kami
memutuskan untuk jalan pada malam hari agar tercapai target sampai di Surya
Kencana esok sorenya. Kami bertujuh menyusuri jalan setapak hutan yang gulita.
Untunglah, sinar purnama berbaik hati menyelinapkan sinarnya diantara
ranting-ranting dan dedaunan hingga menembus ke tanah yang kami pijak sehingga
menambah jarak pandang kami ditengah rimba sekaligus membuat suasana menjadi
melankolis.
Aku
berusaha memposisikan gerak langkah kaki ku agar tidak terlalu jauh darinya, dari sang sayu.
Terlalu sayang jika momen seperti ini dilalui tanpa melihat rautnya sepanjang
waktu. Persetan dia peduli atau tidak. Headlampku
selalu mengarah ke tanah tempat dia akan berpijak. Ingin rasanya kukatakan jika
aku tak hanya ingin menerangi jalannya dalam arti sebenarnya, tapi juga ingin
menyinari jalannya dalam arti yang lebih mendalam, yaitu hidupnya. Ingin sekali
membuatnya selalu bersinar bagai rembulan yang bulat sempurna malam ini, yang menyinari
setapak ini dengan elok.
Kami
terus bergerak menembus pekat. Dan sang angin sayu itu masih terus berada di sisiku. Di sebuah shelter bertuliskan Panyangcangan kami beristirahat sejenak. Selagi yang lain
beristirahat, aku turun ke sungai untuk mengisi air. Sekembalinya aku dari
sungai, aku melihat seraut wajah itu memejamkan matanya dengan polos. Damai
sekali. Setelah dirasa cukup, perjalanan kami lanjutkan. Trek selanjutnya tak lagi landai. Udara yang tipis akibat
ketinggian dan lebatnya pepohonan yang memangkas konsumsi oksigen kami membuat
kami cepat lelah. Beberapa kali aku melihat dia tersengal, hingga bulir
keringatnya jatuh ke tanah. Kondisi yang lain tidak jauh berbeda. Kami butuh
tidur. Akhirnya di sebuah tempat yang datar kami mendirikan tenda.
Di
sela sela pendirian tenda Tom tanpa sizin dariku menceritakan
kondisiku yang harus meninggalkan beberapa urusan di Bandung untuk ikut serta
dalam pendakian ini.
Tanpa
pernah ku duga terselip kata dari mulutnya, “Yah, tau gitu gua ga ikut dah.”
Dan
aku hanya bisa menjawab, “tenang, semua udah diatur.”
Namun
dalam hati ingin sekali berkata lebih dari yang telah terlontar. Aku ingin
menjelaskan betapa lebih pentingnya dia. Menjelaskan sejelas-jelasnya betapa
dialah kini yang merajai setiap detik disegala aspek kehidupanku. Dan betapa
dialah orang yang dengan mudah menghancurkannya kapanpun dia mau.
Malam
perlahan mendekati sang fajar. Bintang gemintang perlahan meninggalkan panggung
pertunjukan angkasa satu persatu. Menyisakan sang venus yang akan keluar
terakhir dari arena. Semuanya telah tertidur, kecuali aku. Bersyukur atas apa
yang Tuhan berikan malam ini. Tentang matanya, tentang hangat yang tiba-tiba
merenggut dingin suasana, dan tentang semburat senyuman, bagai puncak Gede yang
dihujani gemintang dan sinaran penguasa malam.
Pagipun
tak terbendung untuk singgah dengan kabutnya yang menggantung, sinar mentari
yang menelisik ranting, serta sang embun yang senantiasa bergelayut di ujung
dahan. Segera aku persiapkan perkakas memasak dan memainkannya. Tak butuh waktu
lama, hidangan pengisi tenagapun siap. Satu persatu kepala muncul dari balik
tenda dengan wajah yang masih layu dan sayu. Setelah makan dan packing yang disertai celoteh humor dari
masing-masing kami, perjalananpun dilanjutkan. Target hari ini adalah lembah Surya Kencana.
Hari
itu jalur pendakian ramai. Pendaki-pendaki dari berbagai usia, golongan, gaya,
serta motivasi memenuhi jalur menuju puncak gunung yang berada di sisi tenggara ibu kota
ini. Apakah ada yang sama dengan motivasiku? Entahlah. Awalnya kami berjalan
beriringan. Karena perbedaan tenaga dari masing-masing kami, akhirnya kami
menentukan beberapa meeting point
untuk menunggu yang lain yang masih tertinggal. Aku tetap berusaha untuk dekat
dengannya, mata itu. Memaksimalkan waktu yang berputar untuk merekam setiap gurat
wajahnya. Ketika dia diam, aku berhenti. Ketika dia berlari, senantiasa ku
kerahkan seluruh tenaga untuk menyusulnya meski carrier di punggung menggelayut
tanpa mau berkompromi untuk mengurangi bebannya. Aku tidak mau sesuatu yang
buruk terjadi padanya. Aku ingin menyertainya dalam keadaan terburuk sekalipun.
Sampai
di pos air panas aku memutuskan untuk
mendahului yang lain sampai di pos kandang
badak untuk segera mendirikan shelter
disana sebagai tempat beristirahat, meninggalkan sang angin sayu di barisan
belakang. Tak apalah, mengingat jarak antara kedua pos ini tidak terlalu jauh.
Tak ku duga, hujan deras menyapa di tengah perjalanan membuat carrier ini menjadi lebih berat dari
saat kondisi kering.
Sampai
di pos kandang badak lembaran flysheet segera terbentang. Cukup lama
juga aku menunggu barisan belakang datang. Harap cemas penasaran menunggu sang
pemilik mata sayu itu datang. Segera aku panaskan air untuk menghangatkan
tubuhku dan temanku. Sesaat kemudian rombongan terakhir datang. Dan semua
baik-baik saja. Kamipun beristirahat untuk memulihkan kembali kondisi kami
dengan air hangat dan mie instan. Tak ketinggalan canda tawa yang keluar secara
alami dari tubuh-tubuh yang lelah ini.
Perjalanan
kami lanjutkan menuju puncak Gede.
Di
perjalan menuju puncak, hujan kembali turun membasahi apapun yang berada di
bawahnya. Dengan sigap kami mengenakan pakaian anti hujan masing-masing, entah
itu jas hujan, ponco, dan ada pula yang memakai trash bag sebagai penangkal hujannya. Dia dengan mata yang masih sayu itu memakai bagian atas dari
jas hujan. Entah mengapa butir air yang menggantung di dagunya selalu menarik
perhatianku. Hujan yang turun memaksa kalori di tubuh kami cepat menguap dan
membuat kami menggigil serta lelah. Walaupun sempat berhenti sejenak untuk
menyeduh kopi di beberapa titik, dingin yang menggerayangi tubuh kami tak
kunjung pergi. Akumulasi dari semua itu adalah waktu tempuh kami untuk sampai
ke tujuan menjadi lama.
Kami
sampai di puncak gunung Gede selepas magrib. Pemandangan sunset yang mengumpat di balik Pangrango menjadi salah satu obat
penghilang lelah kala itu. Dan angin berhembus damai tanpa bising namun dingin.
Berlanjut menelusuri jalan menurun dan berbatu hingga sampai ke lembah Surya Kencana. Ya, turun lagi. Karena lembah yang kami tuju itu berada di balik puncak Gede. Jaya tampak
sangat kelelahan, dan mau tak mau berjalan lambat. Sesampainya di lembah Surya Kencana, padang rumput yang
ditumbuhi Eidelweiss itu telah penuh oleh pendaki yang lebih dulu sampai. Setelah
beberapa saat mencari, akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di
tengah-tengah Eidelweiss dimana lahan datar di tempat tersebut terbatas.
Semua
bergerak, aktivitas camp pun tanpa
komando dilakukan. Setelah tenda berdiri, flysheet
terbentang, dan logistik sudah mengisi penuh lambung, semua bebas melakukan
apapun. Seperti biasa, aku menyempatkan diri duduk di luar tenda ditemani Pay dan kombinasi antara tembakau, coklat, serta kafein di udara
terbuka, untuk menikmati suasana yang entah kenapa betapapun seringnya aku
kesini suasana itu pasti berbeda. Kali ini suasana Surya Kencana sangatlah emosional. Bulan sempurna diselimuti awan
tipis, gemintang yang tak habis-habisnya pada suatu bilangan, bunga eidelweiss
yang putih mengkilat seperti menyala, serta angin yang perlahan berhembus ke arah barat. Aku
dan sahabatku meracau semaunya, entah apa topiknya malam itu yang jelas kami
berdua merasa damai.
Sayang,
sang pemilik mata sayu nan berhembus dari barat itu tidak berada di sisiku. Aku
membayangkan kami berdua dalam satu matras yang tergelar di padang rumput
dengan beribu eidelweiss. Setelah itu aku ingin bercerita. Ya, bercerita.
Bercerita apa saja. Bercerita tentang tebing-tebing cadas di sisi Surya Kencana
yang entah mengapa setia melindungi sang eidelweiss dari terpaan angin liar.
Bercerita tentang sang rembulan yang entah mengapa dalam waktu berkala
mengunjungi sang malam betapapun dia tahu sang surya akan memonopoli semua
cahaya saat fajar menyingsing. Bercerita tentang rumput-rumput yang tidak peduli
dengan nasibnya yang harus membeku setiap harinya di lembah ini.
Aku
tidak peduli dengan perbincangan siapapun malam itu. mungkin pemahamanku
tentang sosialisasi spontan mengalami kemunduran. Seketika bibir sang sayu dari
barat itu berceloteh dan membuatku getir.
“tar
muron tidur sebelah gw yak” celotehnya.
Terasa
pahit, karena yang berbicara adalah sosok yang kini terlarang buat ku. Kenapa?
Biar aku ceritakan pada kalian semua sebabnya. Biar kalian ikut mengerti betapa kehidupan ini terkadang menyimpan pahit dibalik manis. Karena dia adalah gadis yang
memberiku rangkaian pertanyaan – pertanyaan yang tak terpikirkan sebelumnya
oleh otak ini. Ya, pertanyaan-pertanyaan tentang perasaan. Rasa sakit, gelisah,
sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, melindungi, memberi, binar dan pengorbanan
yang entah apakah memiliki batasan dan harga. Pun dengan rasa yang entah apa
namanya yang merangkum semua perasaan diatas menjadi satu kesatuan. Gadis yang
memaksaku mencari jawaban atas pertanyaan “bukankah dengan berlalunya waktu
semuanya seperti gelas kosong yang berdebu?”. Karena gadis itulah yang telah menghabiskan kata kesempatan
dengan mengambil keputusan untuk dirinya. Kalian mengerti? Tidak? Boleh jadi hanya
gadis itu yang mengerti mengapa ia menjadi terlarang untuk ku.
Dingin
kian mencengkeram setiap sudut tubuh ku dan Pay. Kami pun memutuskan
untuk pindah ke teras tenda untuk menyeduh minuman hangat dan memasak
spaghetti. Sang mata sayu dari baratpun terbangun dan bergabung bersama kami
dalam acara masak-memasak amatir ini sementara yang lain telah senyap. Tak lama berselang hujan turun dengan
derasnya di lembah yang penuh dengan pendaki itu. Aku khawatir dengan camp yang kami buat mengingat tempatnya
yang agak miring berpotensi menjadi aliran air sewaktu hujan. Benar saja tenda
lafuma summer ¾ yang berisi 4 orang banjir. Parit yang ku buat tak mampu
membendung aliran air. Tenda itu dievakuasi, bergeser beberapa meter agar
tidak dilalui oleh aliran air. Selagi aku mengevakuasi tenda kuning itu, aku
melihatnya masih memasak spaghetti. Aku tersenyum entah karena apa. Gila
mungkin.
Setelah
semua dirasa aman, aku kembali ke dalam teras tenda yang terbuat dari flysheet ini. Berbincang dengan anggota
evakuasi, yaitu orang-orang yang tiddur dalam tenda kuning, lalu makan spaghetti yang sedari tadi membuat liur ini mengalir. Satu
persatu teman-temanku masuk tenda, tak sanggup lagi melihat padang eidelweiss
yang basah namun indah ini karena terhalang oleh lelah dan kantuk. Akupun tak
kuasa lagi menahan dingin dan segera memasuki tenda biru berkapasitas tiga
orang. Jaya sudah ngetem di sisi
ujung terlebih dahulu. Mau tidak mau aku di tengah. Tak lama kemudian hiruk
pikuk kembali lengang. Semua kembali ke tenda kecuali Tom yang
entah apa alasannya bertahan di luar tenda.
Dia
berada disebelahku. Entah bagaimana aku harus meneruskan tulisan ini. Entah kata-kata apa yang harus ku rangkai agar kalian mengerti apa yang terjadi dengan pemahaman yang aku inginkan. Waktu
serasa berjalan sangat lambat. Sangat lambat. Aku dan sang angin sayu menggigil, dan saling
mencari kehangatan. Menindih kaki, berhimpit, bergerak resah. Entahlah, apa aku tidur malam
itu, atau malah terjaga dengan nafas hangat. Yang kurasakan saat itu adalah
nafas cepat memburu seperti pelari. Entahlah. Apa aku tidur malam itu atau terjaga
dengan nafas hangat. Aku tidak bisa memastikan. Apakah aku berada di tepi bulan
penuh malam ini atau terjungkal pada bintang yang membentuk formasi acak?
Entahlah. Yang ku tahu waktu berjalan begitu lambat malam itu. Mungkin suatu
saat gadis itu bisa bercerita padaku. Dan aku sangat ingin ia bercerita.
Mentari
mulai menampakkan kehadirannya. Bulan penuh bekas semalam masih tergantung di
langit. Kabut tipis berlarian diatas tanah penuh tenda. Embun pagi
bergelantungan di ujung-ujung eidelweiss dan apapun yang berada di sana. Bagi
ku pagi di Surya Kencana selalu indah. Pagi, berarti suatu malam yang dingin,
gerak resah, sesak, kerinduan dan helaan yang tertahan terlampaui. Pagi, dimana
janji-janji baru bermunculan bak bunga rekah, mimpi-mimpi baru terajut, dan
satu hari yang melelahkan akan segera kita lalui.
Aku, mata sayu dari barat, dan Tom telah terbangun. Entahlah, mungkin aku memang tidak
tidur. Mungkin dia memang tidak tidur. Mungkin kami berdua terjaga di pelukan
lembah nan damai itu. Pagi itu kegiatan diisi dengan bersantai, menikmati riuh
lembah, memasak dan packing. Tak ada
lagi cerita malam. Dan memang aku tak tahu apa yang terjadi semalam. Semua berganti dentum takjub terhadap ukiran sang pencipta
yang terpajang jelas di depan mata. Entah karena lelah atau karena memang belum
tidur, aku terlelap ketika pagi mendekati batasnya.
Ketika
aku bangun, matahari memberikan tanda bahwa hari mulai siang. Kami bergegas
untuk packing dan cleaning sampah-sampah yang tercecer.
Setelah semua beres, kami mulai mengangkat kaki meninggalkan lembah yang entah
bagaimana dia melakukannya, selalu indah ketika aku datang. Tak lupa di momen
terakhir kami mengambil gambar untuk kenang-kenangan.
Perjalanan
dari Surya Kencana menuju jalur pendakian menanjak. Ya, karena memang lembah itu berada di balik puncak. Kami harus mendaki puncak terlebih dahulu untuk selanjutnya kembali turun melalui jalur yang kemarin. Tidak terlalu sulit namun
melelahkan. Untung aku punya strategi mendaki yang efektif sehingga dengan
tenaga yang optimal bisa melangkah secara maksimal. Beberapa kali sang angin
nan sayu memberiku coklat buatannya. Coklat yang mampu menambah tenaga, bukan
hanya riil, namun juga moril. Dan sampailah kami di puncak Gede, 2958 mdpl.
Diperjalanan
turun dari puncak, aku terus mencoba bersisian dengannya. Mencoba sebuah perbincangan ringan
untuk mencairkan suasana. Ketika melewati kawah, aku melihat pemandangan yang
belum pernah aku sasksikan selama ini. Tak ada kabut di sekitar kawah, bersih,
hingga dasar kawah terlihat. Aku baru tahu ternyata kawah itu memiliki air berwarna hijau.
Aku jadi teringat pesan ibuku beberapa bulan yang lalu.
“tar
kalo liat kawahnya fotoin ya…” gumam ibu.
Dan
kini aku berada di sisi atas kawah yang terlihat jelas itu. Segera aku meminta Jaya mengambil foto dengan latar kawah.
Perjalanan
pulang yang sebenarnya lama, tapi buatku ini terlampau cepat. Aku terus
menyertainya. Jika tidak di depannya, di belakang, atau di sisinya. Aku tidak
mau semua ini terlewatkan dari rekaman otakku. Biarlah nantinya rekaman ini
sebagai obat penawar ketika rasa-rasa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan itu
datang lagi. Mungkin tak akan ada lagi kesempatan seperti ini nantinya, sebesar
apapun keinginanku. Dan mungkin ini kali terakhir. Tak ada yang tahu.
Kami sempat berendam di air panas. Pay dan Jaya segera menyeburkan diri setibanya di sana. sang angin barat itu riang berkecipak dengan air, menggoda Pay yang kerontang dengan tulang-tulang yang menyembul. Aku hanya terdiam melihat segala keriangan ini. Ya, aku hanya ingin diam. Dan mungkin untuk seterusnya aku hanya berdiam menyikapi kelanjutan dari seluruh rangkaian tanda tanya ini sampai ada yang bertanya.
Hari
mulai gelap. Penerangan pun mutlak harus dinyalakan. Terbatasnya cahaya, tubuh
yang mulai melemah, rasa lelah, semua itu membuatnya berjalan terhuyung.
Beberapa kali keseimbangannya buyar dan terjatuh. Astaga, jika di perbolehkan,
ingin sekali aku membawakan bebannya. Namun itu sepertinya mustahil. Dia
bukanlah seperti gadis biasanya yang kalah terhadap terpaan fisik. Dialah angin
bermata sayu ku.
Ditengah perjalanan, kami berdua mendengar suara burung yang aneh. rasa takut memburu sekujur tubuhnya. Dia merangkai tangannya ke tanganku. menyeretku untuk lebih cepat. Ketakutan. Betapa ketakutan mampu merangkai kami.
Ditengah perjalanan, kami berdua mendengar suara burung yang aneh. rasa takut memburu sekujur tubuhnya. Dia merangkai tangannya ke tanganku. menyeretku untuk lebih cepat. Ketakutan. Betapa ketakutan mampu merangkai kami.
Akhirnya
kami tiba di pos terakhir. Setelah membereskan administrasi dan meminum
beberapa gelas teh hangat kami berjalan menuju parkiran. Dan aku berjalan
bersisian dengan pemilik mata sayu nan sendu itu di belakang, menyusuri toko-toko yang mulai tutup di tepian jalan. Menyisakan beberapa toko dengan baju-baju bertuliskan Adventur, Hiking, Climbing, dan apapun yang berhubungan dengan kawasan itu. Memoriku buncah mengingat kenangan-kenangan masa kanak-kanak dulu di tempat
ini. Ah.., jalanan ini mengapa begitu pendek. Aku ingin berjalan seperti ini
lebih lama. Lebih lama.
Berakhirkah
kebersamaan ini? Ah, Tuhan, tolong jangan lagi kau hadirkan perasaan yang mulia
ini jika engkau tidak ingin melengkapinya dengan kebersamaan. Jalan setapak
itu, lembah eidelweiss itu, bulan yang menggantung itu, akan menjadi catatan
dinding yang akan bercerita tentang masa-masa ini ketika aku datang kembali. Mungkin
setelah semua ini, semuanya menjadi sangat berbeda. Mungkin pemahamanku akan
semua pertanyaan yang pernah terpikirkan akan berubah. Entahlah. Bukankah
dengan berjalannya waktu semua seperti gelas kosong yang berdebu? Bukankah
kesempatan akan terbunuh oleh keputusan? Entahlah. Mari kita serahkan semuanya
pada sang waktu yang bijak menjawab seluruh pertanyaan.
ai matiiiiiii
ReplyDeletebelum sampe mati om
Deletedahsyat dah ,tapi jngan bwa" tulangnye donk
ReplyDeletehahaha
bawa tulang apaan?
ReplyDelete