Seperti kata
pepatah lama, “hidup itu seperti roda, kadang diatas kadang dibawah”. Dan hal
tersebut berlaku pada setiap kehidupan manusia. Sialnya, tidak terkecuali
dengan ku. Di suatu masa aku merasa terbang tinggi dihempas sang awan, mencicipi
rasa manis sang pelangi, mengenyam semua warna sang senja dan mencumbui segenap
gemintang. Pada suatu masa setelahnya aku seperti terpendam dalam perut bumi
dengan segala rasa sakit yang tiba tanpa diminta, dengan segala gelap dan sesak
yang serta merta dihadiahkan kepadaku. Selamat datang di hidup.
surya kencana |
Ketika
jaya itu datang, segala impian bisa ku wujudkan dengan sekejap mata. Segala
kebahagiaan bisa ku beli meski hanya semu. Tak ada yang menghalangi, tak ada
yang merintangi, tak ada yang berani. Lepas tawaku, lepas hasratku, lepas
hidupku, lepas selepas-lepasnya. Aku punya segalanya, aku punya gelap, aku
punya terang. Dan aku melupakan hal yang seharusnya ku kejar, hal yang nyata
bukan keinginan semu.
Tuhan
masih sayang kepadaku, hingga aku diberikannya sebuah sekat yang indah untuk
menghentikan segala gerak liar tak terbatasku. Tanpa terencana, Tuhan
menghadirkan makhluk indahnya kedepan mataku walau waktu itu aku masih buta, ketika
memandang segala hanya dengan jaya. Aku dan dia dipertemukan disebuah
perjalanan dengan tempat yang amat indah, berbalut pepohonan berselimut kabut
tipis, udara sejuk dengan kicauan alam yang asri tanpa polusi, kemunafikan, dan
hitam. Taburan bunga eidelweis yang sedang mekar-mekarnya, turut mengantarkan
langkahku.
Senyumnya,
candanya, tawanya, menyita mataku dari segenap pikiranku. Aku bertanya pada
sang eidelweiss disana dengan sederhana. “ini apa?”. Bunga itu tak menjawab,
tetap diam dan bisu dengan indahnya. “cukup!!”, kataku. Aku tak mau kembali
terluka, aku tak mau rasa sakit silam kembali menyapa. Menyapaku dengan terpaan
yang gersang, menyeringai di balik bahagia semu. Cukup, cukup, aku tak mau
lagi, aku adalah singa muda yang senang berburu sendiri. Menyingkap tabir malam
dengan aumannya. Berburu dengan amarah yang ada, tanpa cinta dan nurani. Hanya
tirani.
Tuhan,
sang sutradara. Dan peranan-Nyapun tak bisa ku bantah. Entah bagaimana caranya
dia menimbulkan rasa yang jelas-jelas aku buang jauh sejak lama. Rasa yang
sejak dahulu hingga kini tak aku mengerti. Rasa itu kembali tanpa kusadari. Aku
kenal betul rasa itu meski aku tak mampu untuk menyebutkan namanya. Rasa dimana
ketika kau jauh dengannya, hasrat ingin bertemu menguasai akal sehatmu. Ketika
kau disampingnya, dopamin-dopamin di otakmu mengalir deras dan menciptakan
kenyamanan. Ketika dia bersedih, hatimu ikut merasakan pedih yang mendalam.
Sekujur ragamu bagai tanpa batas kekuatan bekerja untuk membuat kebahagiaan
untuknya. Ya…, aku kenal betul rasa itu.
Dia,
dengan segala kesederhanaannya kini menguasai hariku. Dia, yang dibalik
senyumnya menyimpan rasa duka yang ingin sekali aku balut dengan kasa bahagia.
Dia yang tegak berjalan meski melangkah di atas duri. Dia yang hanya dengan
diam, mampu berkata sebanyak buku-buku di Babylonia. Dia yang tanpa sadarnya
telah menyadarkanku tentang apa yang seharusnya aku tuju, bukan semu. Dia
adalah angin barat yang dengan hembusannya mampu membawa sejuk wajahku,
menerpaku dengan rasa ikhlas. Dia membuatku mengenal kembali rasa yang dulu
telah mati. Dia membuatku tanpa rasa takut terjun ke bawah putaran roda demi
mencapai tujuanku yang nyata. Dialah angin baratku, ya… angin baratku. Semoga
dia tetap berhembus menyelubungi hari-hariku. Menyertaiku hingga aku tak mampu
bernafas lagi.
keren.
ReplyDeletet...o...b...b....g...t...
ReplyDeletemantaaaaaaaap (Y)
ReplyDelete