Wednesday, December 12, 2012

Angin Barat


Seperti kata pepatah lama, “hidup itu seperti roda, kadang diatas kadang dibawah”. Dan hal tersebut berlaku pada setiap kehidupan manusia. Sialnya, tidak terkecuali dengan ku. Di suatu masa aku merasa terbang tinggi dihempas sang awan, mencicipi rasa manis sang pelangi, mengenyam semua warna sang senja dan mencumbui segenap gemintang. Pada suatu masa setelahnya aku seperti terpendam dalam perut bumi dengan segala rasa sakit yang tiba tanpa diminta, dengan segala gelap dan sesak yang serta merta dihadiahkan kepadaku. Selamat datang di hidup.

surya kencana

                Ketika jaya itu datang, segala impian bisa ku wujudkan dengan sekejap mata. Segala kebahagiaan bisa ku beli meski hanya semu. Tak ada yang menghalangi, tak ada yang merintangi, tak ada yang berani. Lepas tawaku, lepas hasratku, lepas hidupku, lepas selepas-lepasnya. Aku punya segalanya, aku punya gelap, aku punya terang. Dan aku melupakan hal yang seharusnya ku kejar, hal yang nyata bukan keinginan semu.
          
          Tuhan masih sayang kepadaku, hingga aku diberikannya sebuah sekat yang indah untuk menghentikan segala gerak liar tak terbatasku. Tanpa terencana, Tuhan menghadirkan makhluk indahnya kedepan mataku walau waktu itu aku masih buta, ketika memandang segala hanya dengan jaya. Aku dan dia dipertemukan disebuah perjalanan dengan tempat yang amat indah, berbalut pepohonan berselimut kabut tipis, udara sejuk dengan kicauan alam yang asri tanpa polusi, kemunafikan, dan hitam. Taburan bunga eidelweis yang sedang mekar-mekarnya, turut mengantarkan langkahku.

                Senyumnya, candanya, tawanya, menyita mataku dari segenap pikiranku. Aku bertanya pada sang eidelweiss disana dengan sederhana. “ini apa?”. Bunga itu tak menjawab, tetap diam dan bisu dengan indahnya. “cukup!!”, kataku. Aku tak mau kembali terluka, aku tak mau rasa sakit silam kembali menyapa. Menyapaku dengan terpaan yang gersang, menyeringai di balik bahagia semu. Cukup, cukup, aku tak mau lagi, aku adalah singa muda yang senang berburu sendiri. Menyingkap tabir malam dengan aumannya. Berburu dengan amarah yang ada, tanpa cinta dan nurani. Hanya tirani.

                Tuhan, sang sutradara. Dan peranan-Nyapun tak bisa ku bantah. Entah bagaimana caranya dia menimbulkan rasa yang jelas-jelas aku buang jauh sejak lama. Rasa yang sejak dahulu hingga kini tak aku mengerti. Rasa itu kembali tanpa kusadari. Aku kenal betul rasa itu meski aku tak mampu untuk menyebutkan namanya. Rasa dimana ketika kau jauh dengannya, hasrat ingin bertemu menguasai akal sehatmu. Ketika kau disampingnya, dopamin-dopamin di otakmu mengalir deras dan menciptakan kenyamanan. Ketika dia bersedih, hatimu ikut merasakan pedih yang mendalam. Sekujur ragamu bagai tanpa batas kekuatan bekerja untuk membuat kebahagiaan untuknya. Ya…, aku kenal betul rasa itu.


                Dia, dengan segala kesederhanaannya kini menguasai hariku. Dia, yang dibalik senyumnya menyimpan rasa duka yang ingin sekali aku balut dengan kasa bahagia. Dia yang tegak berjalan meski melangkah di atas duri. Dia yang hanya dengan diam, mampu berkata sebanyak buku-buku di Babylonia. Dia yang tanpa sadarnya telah menyadarkanku tentang apa yang seharusnya aku tuju, bukan semu. Dia adalah angin barat yang dengan hembusannya mampu membawa sejuk wajahku, menerpaku dengan rasa ikhlas. Dia membuatku mengenal kembali rasa yang dulu telah mati. Dia membuatku tanpa rasa takut terjun ke bawah putaran roda demi mencapai tujuanku yang nyata. Dialah angin baratku, ya… angin baratku. Semoga dia tetap berhembus menyelubungi hari-hariku. Menyertaiku hingga aku tak mampu bernafas lagi.

3 comments: