Kedua bola mata ini terpaku pada sebuah
gitar nan berdebu di halaman belakang sekretariat. Dia terkepung udara malam
yang masih saja terasa dingin meski bumi ini semakin panas. Ya, panas dalam
arti sebenarnya, akibat kerakusan manusia yang dengan sengaja menelanjangi
ozon, memperkosa hutan rimba yang tak berdosa, bahkan mencoreng wajah bumi satu-satunya
ini dengan limbahnya. Tidak ada yang tahu generasi ke berapakah gitar sekre
yang sedang murung ini. Kini dia bungkam, meski telah miliaran nada
dihasilkannya dan generasi sebelumnya. Menjadi pengiring setia tiap detak
jantung sekretariat dan para penghuninya dari waktu ke waktu. Tiap not yang
termainkan menjadi saksi paling sahih perjalanan sejarah organisasi ini.
Entah mengapa gitar ini serasa berubah
ekspresi menjadi seperti bocah yang dibelikan mainan favoritnya ketika keenam
senarnya perlahan ku petik. Ia merasa jiwanya kembali, seperti para
pendahulunya yang sering menghasilkan nada-nada pengiring kebersamaan para
Astacala yang selalu meramaikan sekre, sebagai melodi pelepas penat dari segala
persoalan, sebagai back sound diskusi panjang tentang bagaimana agar Astacala
berkembang, atau sebagai not-not penyemangat para Astacala yang berjibaku,
saling membantu, saling mengulurkan tangan, saling berbagi beban pikiran, dan
meresapi kata “kekeluargaan” diatas ambisi pribadi, omong kosong, rasa takut, dan
segala alasan bodoh yang mereka buat-buat sendiri pembenarannya.
Setelah beberapa lagu dimainkan,
lelahpun hinggap sejenak. Tanpa terduga sama sekali, sang gitarpun mulai angkat
bicara. Ia gelisah karena belakangan ini nadanya sudah jarang mengantar
anggota-anggota yang akan pergi berpetualang. Ia khawatir, nada-nada sumbangnya
akan mengiringi lagu-lagu para pembual yang tak ingat lagi tentang ikrar yang
mereka ucapkan ketika mereka brkata “ingin masuk organisasi ini” ataupun saat
mereka mendapat tongkat estafet bertuliskan “teruskan cita-cita organisasi
ini”. Ia enggan jika dimainkan oleh tangan-tangan yang dengan mudah melepas
tanggung jawab. Ia benci masa-masa dimana janji dengan mudah terucapnamun
dengan mudah pula diingkari.
Perlahan ia pun terisak. Ia merasa
kehilangan orang-orang yang tak gentar menelusuri hutan, mendaki tebing-tebing
curam, mengarungi sungai-sungai deras, atau menelusuri kegelapan perut bumi. Ia
rindu dengan para jagoan alam nan idealis itu. Para penjelajah yang dengan arif
menikmati alam ciptaan tuhan tanpa merusaknya. Meresapi hingga ke darah dan
sumsum mereka arti kata “Pecinta Alam”. Dan tanpa diduga tiba-tiba ia
menyalahkan aku.
Akupun spontan bertanya, “kenapa aku?”
Dengan tertunduk ia menjawab, “kita
berdua tau, kita berdua tidak tahu. Semoga generasi yang lebih baik berdiri
diatas kuburanku”.
No comments:
Post a Comment