Monday, February 24, 2014

Gitar Tua Yang Berdebu



Kedua bola mata ini terpaku pada sebuah gitar nan berdebu di halaman belakang sekretariat. Dia terkepung udara malam yang masih saja terasa dingin meski bumi ini semakin panas. Ya, panas dalam arti sebenarnya, akibat kerakusan manusia yang dengan sengaja menelanjangi ozon, memperkosa hutan rimba yang tak berdosa, bahkan mencoreng wajah bumi satu-satunya ini dengan limbahnya. Tidak ada yang tahu generasi ke berapakah gitar sekre yang sedang murung ini. Kini dia bungkam, meski telah miliaran nada dihasilkannya dan generasi sebelumnya. Menjadi pengiring setia tiap detak jantung sekretariat dan para penghuninya dari waktu ke waktu. Tiap not yang termainkan menjadi saksi paling sahih perjalanan sejarah organisasi ini.


Entah mengapa gitar ini serasa berubah ekspresi menjadi seperti bocah yang dibelikan mainan favoritnya ketika keenam senarnya perlahan ku petik. Ia merasa jiwanya kembali, seperti para pendahulunya yang sering menghasilkan nada-nada pengiring kebersamaan para Astacala yang selalu meramaikan sekre, sebagai melodi pelepas penat dari segala persoalan, sebagai back sound diskusi panjang tentang bagaimana agar Astacala berkembang, atau sebagai not-not penyemangat para Astacala yang berjibaku, saling membantu, saling mengulurkan tangan, saling berbagi beban pikiran, dan meresapi kata “kekeluargaan” diatas ambisi pribadi, omong kosong, rasa takut, dan segala alasan bodoh yang mereka buat-buat sendiri pembenarannya.

Setelah beberapa lagu dimainkan, lelahpun hinggap sejenak. Tanpa terduga sama sekali, sang gitarpun mulai angkat bicara. Ia gelisah karena belakangan ini nadanya sudah jarang mengantar anggota-anggota yang akan pergi berpetualang. Ia khawatir, nada-nada sumbangnya akan mengiringi lagu-lagu para pembual yang tak ingat lagi tentang ikrar yang mereka ucapkan ketika mereka brkata “ingin masuk organisasi ini” ataupun saat mereka mendapat tongkat estafet bertuliskan “teruskan cita-cita organisasi ini”. Ia enggan jika dimainkan oleh tangan-tangan yang dengan mudah melepas tanggung jawab. Ia benci masa-masa dimana janji dengan mudah terucapnamun dengan mudah pula diingkari.

Perlahan ia pun terisak. Ia merasa kehilangan orang-orang yang tak gentar menelusuri hutan, mendaki tebing-tebing curam, mengarungi sungai-sungai deras, atau menelusuri kegelapan perut bumi. Ia rindu dengan para jagoan alam nan idealis itu. Para penjelajah yang dengan arif menikmati alam ciptaan tuhan tanpa merusaknya. Meresapi hingga ke darah dan sumsum mereka arti kata “Pecinta Alam”. Dan tanpa diduga tiba-tiba ia menyalahkan aku.

Akupun spontan bertanya, “kenapa aku?”

Dengan tertunduk ia menjawab, “kita berdua tau, kita berdua tidak tahu. Semoga generasi yang lebih baik berdiri diatas kuburanku”.





No comments:

Post a Comment