Wednesday, September 17, 2014

CINTA DAN VESPA

            Malam itu jalan sekitaran kampus di sudut kota bandung sekitar pukul 8 malam masih hiruk pikuk. Jalanan selebar dua mobil itu di ramaikan aneka pedagang makanan dengan pembeli yang rata-rata mahasiswa. Kami berdua sedang memesan bubur ayam. Ya, kami, aku dan seorang gadis yang beberapa bulan ini dekat sukses membuat hati ini bagai toko bunga, warna-warni indah. Sambil menunggu pesanan selesai di bungkus, dia bercerita tentang rencananya mengunjungi kakaknya di Depok.

“eh kak, jumat ini kayanya aku mau ke Depok nih kalo jadi”, katanya.

Refleks, akupun menyahut,”ayo, sekalian ambil si Mbah”.

“iya, iya kak. Kita sekalian ambil si mbah”, jawabnya sambil tersenyum.
          
         Sudah lama kami berdua berencana untuk melakukan perjalanan dari Depok ke Bandung mengendarai si Mbah. Si Mbah, vespa tua kelahiran tahun 1966 ini berperawakan gemuk bak putri lebah, dengan lampu depan bulat, dan berwarna putih merah seperti bendera Indonesia. Mungkin ini yang mau ditunjukan si Mbah bahwa nasionalisme dapat tumbuh di mana saja, pada siapa saja bahkan pada seonggok motor vespa. Sebenarnya vespa ini milik senior ku di kampus namun sudah sekitar satu tahun lebih di amanahkan padaku dan ku rawat selalu.


       Dan obrolan kami berlanjut seputar perjalanan kami ke Depok nanti. Kami sepakat untuk bersama-sama naik travel dari bandung hingga Lenteng Agung. Sampai Lenteng Agung kami berpisah, aku pulang ke rumah ku di Kebon Jeruk sementara dia ke rumah kakaknya di Depok. Kami sepakat hari minggu pukul 2 siang kembali ke Bandung mngendarai si Mbah, vespa tua ku.
            
         Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aku dan si Mbah sudah berangkat sekitar pukul 1 siang dari rumah ku. Menerjang padatnya jalanan ibukota dengan udara panasnya yang menyengat. Melintasi Pondok Indah, Fatmawati, Lenteng Agung dan akhirnya tiba di Depok. Rumah kakaknya.
            
      Setelah beramah tamah dengan kakaknya, kamipun pamit. Selahan pertama gagal, begitupun dngan selahan selanjutnya. Sampai diselahan entah yang keberapa, si Mbah akhirnya hidup juga.
“Untung ga mogok, kan malu”, hatiku bersyukur.
            
        Kamipun memulai perjalanan. Membelah jalan-jalan Margonda dengan erangan si Mbah dan asapnya yang putih. Bercerita, bercanda, semua itu membuat bahagia. Beberapa kali kami mampir di SPBU, maklumlah si Mbah cepat haus. Tak lupa aku singgah untuk beli oli samping dan busi untuk jaga-jaga.
            
          Pelan namun pasti, aku, sang gadis bersenyum manis, dan si Mbah memasuki kota Bogor sambil terus berkelakar tentang hidup, si Mbah, kuliah, organisasi, sahabat, dan masih banyak lagi yang kita bahas. Sederhana memang, namun kebersamaan yang dibalut kesederhanaan dalam suasana klasik, hanya ada satu kata, “romantis”.
            
          Sampai di perempatan dekat kampus Politeknik IPB, si Mbah ngambek. Beliau tidak mau jalan bagai kehabisan bensin dan mau tak mau harus dituntun. Kami berdua mendorong sampai di warung nasi goreng yang memiliki pelataran luas, cocok untuk bongkar mesin sekalian makan. Kami berdua makan dengan latar jalanan kampus Politeknik IPB yang ramai dan si Mbah dengan mesin yang menganga. Sungguh pemandangan langka, berdua dengan orang terkasih menertawakan kesialan yang menimpa dengan perasaan suka cita.
            
       Hampir satu jam aku mencoba membuat si Mbah hidup kembali, namun keadaannya tak juga membaik. Tak tega melihat pujaan hati menunggu. Namun ia tetap tersenyum dan berkelakar. Lebih dari cukup untuk membuat kepanikan berubah menjadi suasana santai. Lama si Mbah tak hidup dan tiba-tiba penjual nasi goreng menyarankan untuk menelpon sebuah nomor yang menurutnya mungkin bisa membantu. Belakangan ku mengenal pemilik nomor itu bernama Kimong, scooterist baik hati yang mau menolong vespa-vespa bermasalah di kawasan itu.
            
       Tak beberapa lama Kimong datang dengan vespa PS tahun 80’an. Setelah melihat-lihat sejenak, Kimong menyarankan untuk membawa si Mbah ke rumahnya agar dapat ditangani secara intensif. Aku tak keberatan, kamipun beranjak ke rumah Kimong. Ternyata dia memiliki bengkel kecil khusus vespa di samping rumahnya. Dia bercerita sudah sering menolong vespa-vespa yang mogok di daerah itu. Si Mbah dibongkar. Sampai waktu maghrib tiba, si Mbah belum juga selesai didandani. Aku dan gadisku akhirnya menumpang shalat di rumah kimong. Sebelum isya, si Mbah sudah lancar jaya.

“ini setingan platinanya bos yang kurang, sama kompresinya lemah. Tar klo mogok lagi, getok aja platinanya”, kata kimong sebelum kami meninggalkan kediamannya. Aku sangat berterima kasih padanya dan terbukti bahwa persaudaraan anak vespa memang kuat.
            
          Perjalanan dilanjutkan. Awalnya si Mbah baik-baik saja. Namun ketika jalanan sudah mulai menanjak dan macet si Mbah kembali tidak mau menanjak, sama rasanya seperti kasus mogok sebelumnya. Beberapa kali kami harus mendorong si Mbah untuk mencari tempat datar karena si Mbah harus mengambil ancang-ancang dahulu sebelum menanjak. Sang gadis setia untuk mendorong tanpa raut kesal ataupun marah. Dia malah tertawa senang seakan mendapat pengalaman baru. Aku sangat bersyukur mengenal gadis itu yang sadar atau tidak telah merubah arah pemikiran ku. Dia selalu ceria, bercanda, dan taat pada agamanya. Ini yang memotivasiku untuk menjadi manusia yang lebih baik. Teringat pepatah asing mengatakan, “a nice guys will get a nice girl”. Semoga kebersamaan ini tak akan pernah berakhir.
            
       Selepas Taman Safari di tanjakan yang gelap nan sepi, si Mbah sudah tak kuat lagi. Kamipun mendorong si Mbah hingga SPBU terdekat. Tak tega aku melihat gadis ku tersayang mendorong rangkaian besi yang berat ini di jalan menanjak. Dia tetap tersenyum sepanjang mendorong.

“gapapa kak, woles” katanya setiap ku tanya kondisinya saat mendorong si Mbah.

Ah, sungguh gadis ini mengacak-acak sanubari. Disaat keadaan yang tidak menyenangkan dia masih bisa tertawa. Disaat kondisi terpuruk, dia mengangkat moril. Di saat terjatuh dia mampu membuat ku bangkit. Hanya dengan hal sederhana, hanya dengan kehadirannya, senyum, kelakar, dan tawanya. Dia seperti mampu menyulap awan kelabu menjadi cerah. Sempat ku tanya kepadanya,

“natar kalo jam 9 masih mogok kamu naik bis aja ya ke Bandung” kataku.

Dengan cepat dia menjawab, “jangan kak, pelan-pelan aja. Ntar juga sampe.”

“udah ga apa, dari pada besok km telat UAS”, kataku lagi.

“ga papa kak, pagi udah sampe Bnadung kan?”. Terasa sekali kepolosan dalam jawabannya.

Kendala yang dihadapi sudah tidak bisa di tolerir lagi. Aku benar-benar di puncak ketidak tegaan ku sementara si Mbah di puncak kelelahannya. Aku berencana menitipkan si Mbah di SPBU sebelum bis jurusan Bandung habiskarena waktu sudah hampir jam 10 malam. Aku uraikan rencana ku untuk meninggalkan si Mbah di SPBU pada sang gadis jelitaku, dia bertanya.

“emang kalo pelan-pelan ga bisa ya?”

“aku ga yakin ndo, dari pada kita paksain, kasian kamunya” sahut ku.

“yaaah...terserah kakak aja aku mah”, katanya.

Akupun berbicara pada pihak keamanan SPBU meminta izin untuk menitipkan si Mbah sampai besok. Ternyata pihak SPBU tidak mengizinkan dengan alasan SPBU dalam perbaikan, tidak ada tempat untuk menaruh si Mbah dan itu mengharuskan ku mencari SPBU lain.

Aku mencoba menghidupkan si Mbah dan berhasil. Kami naik, dan menjalankannya. Ternyata si Mbah bisa diajak menanjak walau suaranya seperti mesin yang dipaksakan. Daerah Tugu terlewati dan bersiap menuju daerah masjid Atta’awun. Hati was-was, karena tanjakan yang akan dihadapi cukup curam, berkelok dan panjang. Dia berpegangan padaku, aku pegang teguh gigi satu. Si Mbah melaju sambil berteriak lantang dengan asap putihnya membelah dinginnya kawasan Puncak. Setengah tak percaya dengan keadaan si Mbah yang tidak prima, kami telah melewati masjid Atta’awun. Aku tidak berani mengendorkan gas sebab jika gas turun si Mbah ngempos. Belakangan aku tahu masalah si Mbah ada di magnet yang lemah dan spuyer yang kurang sesuai. Dan sampailah kami di titik tertinggi jalanan Puncak, Rindu Alam. Kami berdua bersorak, karena si Mbah mampu mengatasi tanjakan tadi dan tahu medan selanjutnya adalah jalan menurun.

“yeeeeeeee, si Mbah hebat” ujarnya sambil tertawa. Manis sekali melihatnya bahagia seperti itu.

Perjalanan setelahnya diisi dengan obrolan seru tentang apa saja. Kami bercerita tentang apa saja yang terlintas di otak kami. Tanpa canggung apa lagi malu. ingin rasanya kembali ke saat itu. Tak henti-hentinya dia tersenyum polos apalagi setelah kami berhasil melewati tanjakan Puncak.

Di daerah Cibodas kami singgah sejenak di SPBU untuk mengisi bensin sambil beristirahat meregangkan otot.

“kak...kak...sini aku yang ngisi bensin. Aku mau coba ngisi bensin si Mbah”

“ha? Yaudah tuh” jawabku.

“ini buka tutup bensinnya gimana?”

“tinggal puter aja nih”, sahut ku sambil membukakan tutup tangki.

“oks...oks...” tukasnya lagi.
         
        Ini pertama kalinya wanita yang aku sayang mendorong vespa tua lalu mengantri dengan pengisi bensin lainnya. Tetap dengan senyum manisnya walau aku tahu dia lelah.
            
            “kak udah kak, tinggal dinyalain”.
            
            “eit, ntar dulu. lupa ya? Kasih oli dulu ndo”.
            
            “oiya lupa, hahaha”.
            
        Setelah selesai memberi oli samping kami duduk sejenak sambil berbincang. Terlihat sekali raut wajahnyamenahan kantuk dan lelah namun masih saja dia bisa tersenyum.
             
            “kamu ngantuk ya ndo?”.
            
           “ngga ko kak. Ga ngantuk. Yukjalan lagi yuk?!” belanya.
           
          “tar dulu ndo aku mau ritual?”.
          
           “ritual apa kak?” tanyanya bingung.
            
         Aku beranjak ke depan si Mbah lalu berlutut dan memejamkan mata. Lama seperti orang yang berdoa. Tak lama setelah itu spatbor si Mbah ku cium. Spontan sang gadis manis itu tertawa terbahak.
            
              “hahaha....., ta kira mau ngapain kak. Lucu ritualnya, hahaha....”.
            
              Senang sekali rasanya bisa membuatnya tertawa seperti itu. Apa lagi dia baru saja melalui setengah perjalanan yang cukup melelahkan.
            
           Kami melanjutkan perjalanan dengan hati yang terasa lega dan tetap menyenangkan karena tawa candanya. Medan selanjutnya kami isi dengan obrolan santai tentang apapun dan membuat waktu perjalanan serta rasa lelah tak lagi terasa. Cibodas, Cipanas, dan akhirnya kami sampai di Cianjur sekitar tengah malam.
            
            Di depan Ramayana Cianjur kami singgah di warung pecel lele untuk mengisi perut dan melepas lelah. Udara dingin seakan berkurang setelah tubuh ini mendapat asupan bahan untuk diolah lambung. Kulihat matanya sudah lelah, namun masih bisa menyunggingkan senyum. Aku selalu berusaha membuatnya tertawa, aku tidak sanggup jika melihatnya tidak bahagia.
            
          Perjalanan kami lanjutkan menyusuri jalan lurus nan datar di daerah Ciranjang. Penumpang di belakangku ini sudah mulai tidur sepertinya. Maklum lah efek perjalanan jauh dan udara dingin. Jangankan di motor, di kosannya pun asalkan kepalanya menyentuh bantal dia bisa langsung pergi ke dunia mimpi. Lagi pula, jok belakangku aku tambahkan senderan. Jadi nyaman untuk tidur.
            
              Perjalanan sampai di Cipatat lancar tanpa kendala yang berarti. Kami beristirahat sejenak di SPBU Padalarangsebelum jalan menanjak. Setelah dia (lagi-lagi) mengisikan bensin si Mbah, kami berdua beristirahat di depan kios oli yang ada di SPBU.
           
            “kak, kalo ngantuk tidur dulu aja kak”.
           
            “lah kamu ga tidur?”, tanyaku.
           
            “kakak aja, kan kamu yang cape”, katanya.
           
            “bentar ya, lima menit doang paling”
            
        Tak lama setelah aku terpejam, akupun tak sadarkan diri. Kira-kira setelah 30 menit tidur, aku terbangun.
            
            “berapa jam tadi aku tidur?” tanyaku.
            
            “30 menit lah ka, hehehe...”, jawabnya sambil tersenyum.
            
            Ah..., rasanya ingin ku simpan saja senyum yang baru dia berikan. Rasanya ingin selalu kulihat setiap ku membuka mata dari tidur yang melelahkan.
            
            “yok lanjut”, kataku.
            
             Dan dia menyahut tegas, “ayooo...”.
            
            “kak..kak.. aku nyobain naik si Mbah ya..”, pintanya.
            
            “emang bisa? Kalo mau coba aja.”
            
             “aku yang nyelah, aku yang nyelah, hehe” pintanya lagi.
            
         Dia berhasil menghidupkan si Mbah dalam sekali selahan saja. Sambil tersenyum girang dia menirukan suara si Mbah.
            
          “drong dong dong dong...”, kata kata yang keluar dari mulutnya.
            
      Kami pun siap melanjutkan perjalanan. Medan yang kami hadapi selanjutnya adalah tanjakan di Rajamandala. Aku harus menahan gas dan gigi dua agar si Mbah tetap bisa melaju. Sesekali kami bertingkah seolah mendorong si Mbah saat tanjakan yang cukup lumayan dilalui sehingga si Mbah berteriak kencang.

            “ayo si Mbah... ayo si Mbah...” ucapnya untuk menyemangati si Mbah.
            Akupun mengikuti dengan bersemangat. “ayo...ayo...”.

            Kegilaan yang sempurana bukan? Ya, sempurna indahnya bagiku. Terserah apa kata kalian, yang jelas aku sangat bahagia saat itu.

            Tanjakan Rajamandala tak seterjal di kawasan Puncak. Si Mbah masih cukup kuat dengan sisa-sisa tenaganya. Sekitar 30 menit dari SPBU tempat kami istirahat tadi, kami sudah sampai di Situ Ciburuy. Ini menandakan Bandung sudah tinggal sedikit lagi dan takkan ada lagi rangkaian tanjakan panjang. Sontak kami pun bersorak.

            “Ndo, udah sampe Citatah. Berarti udah ga ada tanjakan panjang lagi ndoooo”, ujarku senang.

            “yeeeeeeee, udah mau nyampe kak”, serunya girang.

            “jam berapa ndo? “ tanyaku.

            “hampir jam 1 kak. Kak..kak.. klo kamu cape istirahat aja dulu.” Katanya.

            “ngga ko, aku masih kuat..” sahutku.

“Mana mungkin gua bisa capekalo ditemenin rangkaian senyum manis dan tawa renyahnya, hehehe...”, aku membatin.

            Kami menyusuri jalanan Cimahi yang lurus lengang nan membosankan. Aku melihat ke belakang. Ternyata dia sudah memejamkan matanya. Wajah polosnya benar-benar terpampang jelas. Aku senyum-senyum sendiri sambil mengendarai si Mbah.

            “mimpi apa gua bisa nglakuin perjalanan yang ga akan pernah terlupakan gini. Sama orang yang gua sayang lagi. Hehehe....”, aku membatin.

            Sesekali aku menengok kebelakang untuk memeriksa posisi duduknya. Tiap kali itu pula sontak aku tersenyum lebar. Si Mbah terus melaju dengan suaranya yang parau. Beberapa vespa berpapasan dengan kami sejak awal perjalanan dan mereka selalu menyapa kami. Ini salah satu hal yang aku suka dari vespa, solidaritas yang kuat. Peristiwa ditolong kimong dan sapaan pengguna vespa lain buktinya. Mereka tak peduli siapa aku, dari mana asalku, yang penting bagi mereka aku memakai vespa, motor bermesin kanan. Tidak salah jika moto pengendara vespa adalah “satu vespa sejuta saudara”.

            Sudah sampai jalan raya Soekarno-Hatta. Dia sudah terbangun dari tadi dan seperti biasa aku sudah menertawakannya. Kami kembali bercerita, bercanda, saling cela, dan saling berbicara yang tidak jelas seperti orang gila. Entah kekuatan dari mana kami masih bisa melakukan hal itu setelah 12 jam melakukan perjalanan yang melelahkan.

            Kami memasuki kawasan pendidikan Telkom, kampus kami. Sudah dekat dengan kosannya. Aku memperlambat laju si Mbah yang lelah. Aku tak rela melepas hari ini. Hari yang indah bersama sang pemilik senyum terindah dan juga si Mbah. Namun waktu tetap bergulir tanpa bisa dihentikan. Kami sudah sampai di depan kos nya. Diapun masuk melewati pagar setelah sebelumnya mencium tanganku bak anak bocah pamit ke orang tuanya untuk pergi mengaji di surau.

            Aku menghela nafas sembari tersenyum. Ku sruput kopi panas sambil mengenang segala yang terjadi di hari itu. Hari yang benar-benar tak akan terlupakan seumur hidup. Entah bagaimana cerita ini akan bersambung, tiada yang tahu kecuali Allah. Kalian tahu kenapa kenangan begitu indah? Karena kita tidak dapat mengulangnya kembali. Ah..., sungguh sangat tak sebanding jika hidup ini dilalui bersama orang yang salah. Dan sungguh sangat cepat waktu terasa jika kita bersama orang yang kita sayang.
           
           
           
           




No comments:

Post a Comment