Malam itu jalan sekitaran kampus di
sudut kota bandung sekitar pukul 8 malam masih hiruk pikuk. Jalanan selebar dua
mobil itu di ramaikan aneka pedagang makanan dengan pembeli yang rata-rata
mahasiswa. Kami berdua sedang memesan bubur ayam. Ya, kami, aku dan seorang
gadis yang beberapa bulan ini dekat sukses membuat hati ini bagai toko bunga,
warna-warni indah. Sambil menunggu pesanan selesai di bungkus, dia bercerita
tentang rencananya mengunjungi kakaknya di Depok.
“eh kak, jumat
ini kayanya aku mau ke Depok nih kalo jadi”, katanya.
Refleks, akupun
menyahut,”ayo, sekalian ambil si Mbah”.
“iya, iya kak.
Kita sekalian ambil si mbah”, jawabnya sambil tersenyum.
Sudah lama kami berdua berencana
untuk melakukan perjalanan dari Depok ke Bandung mengendarai si Mbah. Si Mbah,
vespa tua kelahiran tahun 1966 ini berperawakan gemuk bak putri lebah, dengan
lampu depan bulat, dan berwarna putih merah seperti bendera Indonesia. Mungkin
ini yang mau ditunjukan si Mbah bahwa nasionalisme dapat tumbuh di mana saja,
pada siapa saja bahkan pada seonggok motor vespa. Sebenarnya vespa ini milik
senior ku di kampus namun sudah sekitar satu tahun lebih di amanahkan padaku
dan ku rawat selalu.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aku
dan si Mbah sudah berangkat sekitar pukul 1 siang dari rumah ku. Menerjang
padatnya jalanan ibukota dengan udara panasnya yang menyengat. Melintasi Pondok
Indah, Fatmawati, Lenteng Agung dan akhirnya tiba di Depok. Rumah kakaknya.
Setelah beramah tamah dengan
kakaknya, kamipun pamit. Selahan pertama
gagal, begitupun dngan selahan selanjutnya.
Sampai diselahan entah yang keberapa,
si Mbah akhirnya hidup juga.
“Untung ga
mogok, kan malu”, hatiku bersyukur.
Kamipun memulai perjalanan. Membelah
jalan-jalan Margonda dengan erangan si Mbah dan asapnya yang putih. Bercerita,
bercanda, semua itu membuat bahagia. Beberapa kali kami mampir di SPBU,
maklumlah si Mbah cepat haus. Tak lupa aku singgah untuk beli oli samping dan
busi untuk jaga-jaga.
Pelan namun pasti, aku, sang gadis
bersenyum manis, dan si Mbah memasuki kota Bogor sambil terus berkelakar tentang
hidup, si Mbah, kuliah, organisasi, sahabat, dan masih banyak lagi yang kita
bahas. Sederhana memang, namun kebersamaan yang dibalut kesederhanaan dalam
suasana klasik, hanya ada satu kata, “romantis”.
Sampai di perempatan dekat kampus
Politeknik IPB, si Mbah ngambek. Beliau
tidak mau jalan bagai kehabisan bensin dan mau tak mau harus dituntun. Kami berdua
mendorong sampai di warung nasi goreng yang memiliki pelataran luas, cocok
untuk bongkar mesin sekalian makan. Kami berdua makan dengan latar jalanan
kampus Politeknik IPB yang ramai dan si Mbah dengan mesin yang menganga.
Sungguh pemandangan langka, berdua dengan orang terkasih menertawakan kesialan
yang menimpa dengan perasaan suka cita.
Hampir satu jam aku mencoba membuat
si Mbah hidup kembali, namun keadaannya tak juga membaik. Tak tega melihat
pujaan hati menunggu. Namun ia tetap tersenyum dan berkelakar. Lebih dari cukup
untuk membuat kepanikan berubah menjadi suasana santai. Lama si Mbah tak hidup
dan tiba-tiba penjual nasi goreng menyarankan untuk menelpon sebuah nomor yang
menurutnya mungkin bisa membantu. Belakangan ku mengenal pemilik nomor itu
bernama Kimong, scooterist baik hati
yang mau menolong vespa-vespa bermasalah di kawasan itu.
Tak beberapa lama Kimong datang
dengan vespa PS tahun 80’an. Setelah melihat-lihat sejenak, Kimong menyarankan
untuk membawa si Mbah ke rumahnya agar dapat ditangani secara intensif. Aku tak
keberatan, kamipun beranjak ke rumah Kimong. Ternyata dia memiliki bengkel
kecil khusus vespa di samping rumahnya. Dia bercerita sudah sering menolong
vespa-vespa yang mogok di daerah itu. Si Mbah dibongkar. Sampai waktu maghrib tiba,
si Mbah belum juga selesai didandani. Aku dan gadisku akhirnya menumpang shalat
di rumah kimong. Sebelum isya, si Mbah sudah lancar jaya.
“ini
setingan platinanya bos yang kurang,
sama kompresinya lemah. Tar klo mogok lagi, getok aja platinanya”, kata kimong
sebelum kami meninggalkan kediamannya. Aku sangat berterima kasih padanya dan
terbukti bahwa persaudaraan anak vespa memang kuat.
Perjalanan dilanjutkan. Awalnya si
Mbah baik-baik saja. Namun ketika jalanan sudah mulai menanjak dan macet si
Mbah kembali tidak mau menanjak, sama rasanya seperti kasus mogok sebelumnya.
Beberapa kali kami harus mendorong si Mbah untuk mencari tempat datar karena si
Mbah harus mengambil ancang-ancang dahulu sebelum menanjak. Sang gadis setia
untuk mendorong tanpa raut kesal ataupun marah. Dia malah tertawa senang seakan
mendapat pengalaman baru. Aku sangat bersyukur mengenal gadis itu yang sadar
atau tidak telah merubah arah pemikiran ku. Dia selalu ceria, bercanda, dan
taat pada agamanya. Ini yang memotivasiku untuk menjadi manusia yang lebih
baik. Teringat pepatah asing mengatakan, “a nice guys will get a nice girl”.
Semoga kebersamaan ini tak akan pernah berakhir.
Selepas Taman Safari di tanjakan
yang gelap nan sepi, si Mbah sudah tak kuat lagi. Kamipun mendorong si Mbah
hingga SPBU terdekat. Tak tega aku melihat gadis ku tersayang mendorong
rangkaian besi yang berat ini di jalan menanjak. Dia tetap tersenyum sepanjang
mendorong.
“gapapa
kak, woles” katanya setiap ku tanya kondisinya saat mendorong si Mbah.
Ah,
sungguh gadis ini mengacak-acak sanubari. Disaat keadaan yang tidak
menyenangkan dia masih bisa tertawa. Disaat kondisi terpuruk, dia mengangkat
moril. Di saat terjatuh dia mampu membuat ku bangkit. Hanya dengan hal
sederhana, hanya dengan kehadirannya, senyum, kelakar, dan tawanya. Dia seperti
mampu menyulap awan kelabu menjadi cerah. Sempat ku tanya kepadanya,
“natar
kalo jam 9 masih mogok kamu naik bis aja ya ke Bandung” kataku.
Dengan
cepat dia menjawab, “jangan kak, pelan-pelan aja. Ntar juga sampe.”
“udah
ga apa, dari pada besok km telat UAS”, kataku lagi.
“ga
papa kak, pagi udah sampe Bnadung kan?”. Terasa sekali kepolosan dalam
jawabannya.
Kendala
yang dihadapi sudah tidak bisa di tolerir lagi. Aku benar-benar di puncak
ketidak tegaan ku sementara si Mbah di puncak kelelahannya. Aku berencana
menitipkan si Mbah di SPBU sebelum bis jurusan Bandung habiskarena waktu sudah
hampir jam 10 malam. Aku uraikan rencana ku untuk meninggalkan si Mbah di SPBU
pada sang gadis jelitaku, dia bertanya.
“emang
kalo pelan-pelan ga bisa ya?”
“aku
ga yakin ndo, dari pada kita paksain, kasian kamunya” sahut ku.
“yaaah...terserah
kakak aja aku mah”, katanya.
Akupun
berbicara pada pihak keamanan SPBU meminta izin untuk menitipkan si Mbah sampai
besok. Ternyata pihak SPBU tidak mengizinkan dengan alasan SPBU dalam
perbaikan, tidak ada tempat untuk menaruh si Mbah dan itu mengharuskan ku
mencari SPBU lain.
Aku
mencoba menghidupkan si Mbah dan berhasil. Kami naik, dan menjalankannya.
Ternyata si Mbah bisa diajak menanjak walau suaranya seperti mesin yang
dipaksakan. Daerah Tugu terlewati dan bersiap menuju daerah masjid Atta’awun.
Hati was-was, karena tanjakan yang akan dihadapi cukup curam, berkelok dan
panjang. Dia berpegangan padaku, aku pegang teguh gigi satu. Si Mbah melaju
sambil berteriak lantang dengan asap putihnya membelah dinginnya kawasan
Puncak. Setengah tak percaya dengan keadaan si Mbah yang tidak prima, kami
telah melewati masjid Atta’awun. Aku tidak berani mengendorkan gas sebab jika
gas turun si Mbah ngempos. Belakangan
aku tahu masalah si Mbah ada di magnet yang lemah dan spuyer yang kurang
sesuai. Dan sampailah kami di titik tertinggi jalanan Puncak, Rindu Alam. Kami
berdua bersorak, karena si Mbah mampu mengatasi tanjakan tadi dan tahu medan
selanjutnya adalah jalan menurun.
“yeeeeeeee,
si Mbah hebat” ujarnya sambil tertawa. Manis sekali melihatnya bahagia seperti
itu.
Perjalanan
setelahnya diisi dengan obrolan seru tentang apa saja. Kami bercerita tentang
apa saja yang terlintas di otak kami. Tanpa canggung apa lagi malu. ingin
rasanya kembali ke saat itu. Tak henti-hentinya dia tersenyum polos apalagi
setelah kami berhasil melewati tanjakan Puncak.
Di
daerah Cibodas kami singgah sejenak di SPBU untuk mengisi bensin sambil
beristirahat meregangkan otot.
“kak...kak...sini
aku yang ngisi bensin. Aku mau coba ngisi bensin si Mbah”
“ha?
Yaudah tuh” jawabku.
“ini
buka tutup bensinnya gimana?”
“tinggal
puter aja nih”, sahut ku sambil membukakan tutup tangki.
“oks...oks...”
tukasnya lagi.
Ini pertama kalinya wanita yang aku
sayang mendorong vespa tua lalu mengantri dengan pengisi bensin lainnya. Tetap
dengan senyum manisnya walau aku tahu dia lelah.
“kak udah kak, tinggal dinyalain”.
“eit, ntar dulu. lupa ya? Kasih oli
dulu ndo”.
“oiya lupa, hahaha”.
Setelah selesai memberi oli samping
kami duduk sejenak sambil berbincang. Terlihat sekali raut wajahnyamenahan kantuk
dan lelah namun masih saja dia bisa tersenyum.
“kamu ngantuk ya ndo?”.
“ngga ko kak. Ga ngantuk. Yukjalan
lagi yuk?!” belanya.
“tar dulu ndo aku mau ritual?”.
“ritual apa kak?” tanyanya bingung.
Aku beranjak ke depan si Mbah lalu
berlutut dan memejamkan mata. Lama seperti orang yang berdoa. Tak lama setelah
itu spatbor si Mbah ku cium. Spontan sang gadis manis itu tertawa terbahak.
“hahaha....., ta kira mau ngapain
kak. Lucu ritualnya, hahaha....”.
Senang sekali rasanya bisa
membuatnya tertawa seperti itu. Apa lagi dia baru saja melalui setengah
perjalanan yang cukup melelahkan.
Kami melanjutkan perjalanan dengan
hati yang terasa lega dan tetap menyenangkan karena tawa candanya. Medan
selanjutnya kami isi dengan obrolan santai tentang apapun dan membuat waktu
perjalanan serta rasa lelah tak lagi terasa. Cibodas, Cipanas, dan akhirnya
kami sampai di Cianjur sekitar tengah malam.
Di depan Ramayana Cianjur kami
singgah di warung pecel lele untuk mengisi perut dan melepas lelah. Udara
dingin seakan berkurang setelah tubuh ini mendapat asupan bahan untuk diolah
lambung. Kulihat matanya sudah lelah, namun masih bisa menyunggingkan senyum.
Aku selalu berusaha membuatnya tertawa, aku tidak sanggup jika melihatnya tidak
bahagia.
Perjalanan kami lanjutkan menyusuri
jalan lurus nan datar di daerah Ciranjang. Penumpang di belakangku ini sudah
mulai tidur sepertinya. Maklum lah efek perjalanan jauh dan udara dingin.
Jangankan di motor, di kosannya pun asalkan kepalanya menyentuh bantal dia bisa
langsung pergi ke dunia mimpi. Lagi pula, jok belakangku aku tambahkan
senderan. Jadi nyaman untuk tidur.
Perjalanan sampai di Cipatat lancar
tanpa kendala yang berarti. Kami beristirahat sejenak di SPBU Padalarangsebelum
jalan menanjak. Setelah dia (lagi-lagi) mengisikan bensin si Mbah, kami berdua
beristirahat di depan kios oli yang ada di SPBU.
“kak, kalo ngantuk tidur dulu aja
kak”.
“lah kamu ga tidur?”, tanyaku.
“kakak aja, kan kamu yang cape”,
katanya.
“bentar ya, lima menit doang paling”
Tak lama setelah aku terpejam,
akupun tak sadarkan diri. Kira-kira setelah 30 menit tidur, aku terbangun.
“berapa jam tadi aku tidur?”
tanyaku.
“30 menit lah ka, hehehe...”,
jawabnya sambil tersenyum.
Ah..., rasanya ingin ku simpan saja
senyum yang baru dia berikan. Rasanya ingin selalu kulihat setiap ku membuka
mata dari tidur yang melelahkan.
“yok lanjut”, kataku.
Dan dia menyahut tegas, “ayooo...”.
“kak..kak.. aku nyobain naik si Mbah
ya..”, pintanya.
“emang bisa? Kalo mau coba aja.”
“aku yang nyelah, aku yang nyelah,
hehe” pintanya lagi.
Dia berhasil menghidupkan si Mbah
dalam sekali selahan saja. Sambil
tersenyum girang dia menirukan suara si Mbah.
“drong dong dong dong...”, kata kata
yang keluar dari mulutnya.
Kami pun siap melanjutkan
perjalanan. Medan yang kami hadapi selanjutnya adalah tanjakan di Rajamandala.
Aku harus menahan gas dan gigi dua agar si Mbah tetap bisa melaju. Sesekali
kami bertingkah seolah mendorong si Mbah saat tanjakan yang cukup lumayan
dilalui sehingga si Mbah berteriak kencang.
“ayo si Mbah... ayo si Mbah...”
ucapnya untuk menyemangati si Mbah.
Akupun mengikuti dengan bersemangat.
“ayo...ayo...”.
Kegilaan yang sempurana bukan? Ya,
sempurna indahnya bagiku. Terserah apa kata kalian, yang jelas aku sangat
bahagia saat itu.
Tanjakan Rajamandala tak seterjal di
kawasan Puncak. Si Mbah masih cukup kuat dengan sisa-sisa tenaganya. Sekitar 30
menit dari SPBU tempat kami istirahat tadi, kami sudah sampai di Situ Ciburuy.
Ini menandakan Bandung sudah tinggal sedikit lagi dan takkan ada lagi rangkaian
tanjakan panjang. Sontak kami pun bersorak.
“Ndo, udah sampe Citatah. Berarti
udah ga ada tanjakan panjang lagi ndoooo”, ujarku senang.
“yeeeeeeee, udah mau nyampe kak”,
serunya girang.
“jam berapa ndo? “ tanyaku.
“hampir jam 1 kak. Kak..kak.. klo
kamu cape istirahat aja dulu.” Katanya.
“ngga ko, aku masih kuat..” sahutku.
“Mana
mungkin gua bisa capekalo ditemenin rangkaian senyum manis dan tawa renyahnya,
hehehe...”, aku membatin.
Kami menyusuri jalanan Cimahi yang
lurus lengang nan membosankan. Aku melihat ke belakang. Ternyata dia sudah
memejamkan matanya. Wajah polosnya benar-benar terpampang jelas. Aku senyum-senyum
sendiri sambil mengendarai si Mbah.
“mimpi apa gua bisa nglakuin
perjalanan yang ga akan pernah terlupakan gini. Sama orang yang gua sayang
lagi. Hehehe....”, aku membatin.
Sesekali aku menengok kebelakang
untuk memeriksa posisi duduknya. Tiap kali itu pula sontak aku tersenyum lebar.
Si Mbah terus melaju dengan suaranya yang parau. Beberapa vespa berpapasan
dengan kami sejak awal perjalanan dan mereka selalu menyapa kami. Ini salah
satu hal yang aku suka dari vespa, solidaritas yang kuat. Peristiwa ditolong
kimong dan sapaan pengguna vespa lain buktinya. Mereka tak peduli siapa aku,
dari mana asalku, yang penting bagi mereka aku memakai vespa, motor bermesin
kanan. Tidak salah jika moto pengendara vespa adalah “satu vespa sejuta
saudara”.
Sudah sampai jalan raya
Soekarno-Hatta. Dia sudah terbangun dari tadi dan seperti biasa aku sudah
menertawakannya. Kami kembali bercerita, bercanda, saling cela, dan saling
berbicara yang tidak jelas seperti orang gila. Entah kekuatan dari mana kami
masih bisa melakukan hal itu setelah 12 jam melakukan perjalanan yang
melelahkan.
Kami memasuki kawasan pendidikan
Telkom, kampus kami. Sudah dekat dengan kosannya. Aku memperlambat laju si Mbah
yang lelah. Aku tak rela melepas hari ini. Hari yang indah bersama sang pemilik
senyum terindah dan juga si Mbah. Namun waktu tetap bergulir tanpa bisa
dihentikan. Kami sudah sampai di depan kos nya. Diapun masuk melewati pagar
setelah sebelumnya mencium tanganku bak anak bocah pamit ke orang tuanya untuk
pergi mengaji di surau.
Aku menghela nafas sembari tersenyum.
Ku sruput kopi panas sambil mengenang
segala yang terjadi di hari itu. Hari yang benar-benar tak akan terlupakan
seumur hidup. Entah bagaimana cerita ini akan bersambung, tiada yang tahu
kecuali Allah. Kalian tahu kenapa kenangan begitu indah? Karena kita tidak
dapat mengulangnya kembali. Ah..., sungguh sangat tak sebanding jika hidup ini
dilalui bersama orang yang salah. Dan sungguh sangat cepat waktu terasa jika
kita bersama orang yang kita sayang.
No comments:
Post a Comment