Saturday, November 12, 2011

bocah produk polusi jakarta, (jakarta lama yang ia rindu)

19 februari 1989, seorang bocah manusia telah lahir diantara jutaan anak manusia, anak jin, anak setan, dan anak hewan yang lahir pada hari itu. Di sebuah huma dipojokan kota jakarta (sekarang daerah itu sudah menjadi bagian dari pusat kota jakarta) si bocah mendendangkan tangis pertamanya. tangisan yang disambut tangis bahagia dari kedua orang tuanya. si bocah ditimang manja, di azani, di nyanyikan lagu-lagu yang pastinya si bocah belum mengerti. kelahiran si bocah ke dunia seperti menjelma menjadi tempat curahan kasih sayang orang tuanya.  

mau tak mau bocah itupun tumbuh, karena memang si bocah diberi makan. Belajar apapun dari apapun dan siapapun. segala polesan kasih sayang maupun penderitaan silih berganti ia terima setiap hari. kedua orang tuanya tanpa henti memberikan yang terbaik, mendidik, memberi filosofi-filosofi dengan satu harapan agar sang bocah menjadi manusia yang baik meski diselimuti lingkungan yang kurang baik. lingkungan ibukota.

disebuah gang yang setiap lima tahun sekali didatangi oleh banjir, bocah yang masih kecil itu mengukir nafas demi nafasnya. udara polusi jakarta menjadi sahabatnya yang setia. yang ia tahu hanyalah bermain dan belajar hal-hal baru yang menurutnya menarik, tanpa beban dan tuntutan. polos, seakan tak peduli apa yang akan ia hadapi nanti. 

si bocahpun memasuki masa sekolah. pagi-pagi si bocah sudah rapi dengan baju seragam dan dasi. belajar mengikat tali sepatu yang selama dua minggu belum bisa ia kuasai. memakan telur dadarnya serta menghabiskan susunya (yang beberapa tahun kemudian si bocah lebih memilih kopi dari pada susu). tak lupa ia mencium punggung tangan kedua orang tuanya. berangkat riang menuju ke sekolah dengan tas yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya, karena memang tidak ada tas yang sesuai dengan tubuhnya yang mungil. bukan karena pelajaran yang membuatnya begitu, tapi karena alasan-alasan khas kanak-kanak seperti main kelereng, main bola, main gimbot, dan permainan khas anak-anak lainnya. 


siang harinya ia tertidur pulas setelah makan siang yang di siapkan oleh si mbok. mimpi-mimpi standar kanak-kanak tentang warna-warna, mobil-mobilan, balon, dan bola-bola selalu hadir disudut sungging senyumnya. setiap sore ia main layang-layang di tumpukan sampah yang sudah menjadi lapisan padat diatas tanah di pinggir sungai yang airnya mulai keruh, tak lagi bening seperti saat sang bocah lahir dimana bapaknya masih bisa memancing ikan di sungai itu untuk makan sang bunda. tanpa pernah terlintas pikiran tentang penyakit yang bisa timbul dari tumpukan sampah dan belatung yang menggunung. kadang juga ia bermain bola bersama teman-teman selintingannya di lapangan bulu tangkis yang sempit, yang di kanan kirinya telah berdiri tembok-tembok rumah kontrakan milik warga asli yang mempetak-petakan tanahnya untuk dibagikan ke istri-istrinya.  

malam harinya ia mengerjakan tugas dari ibu guru. matematika adalah salah satu pelajaran yang ia suka (selanjutnya fisika adalah pelajaran yang ia benci). ditemani sang ibu yang selalu mengelus rambutnya saat belajar, diselipi nasehat-nasehat kehidupan, diselingi cerita-cerita tokoh pewayangan dari sang ayah, ia merasakan sensasi yang baru. dia tak akan tidur sebelum di tepuk-tepuk pantatnya oleh sang ayah sambil dinyanyikan tembang campursari yang tak ia mengerti namun sangat ia gemari. 

anak itupun beranjak remaja. lingkungannya perlahan mengambil alih dari senyum manis masa kecilnya menjadi senyum bengis. ia lebih inten dengan teman sebaya dari pada orang tuanya. pencarian jati diri, titik lemah fase kehidupan. rasa penasarannya meraja lela. segala petualangan kehidupan singgah. dari masalah cinta (atau mungkin bisa dibilang sex), rokok, air tak halal, kelayaban, balap liar, dan lain sebagainya yang notabene hal baru yang negatif. namun sang orang tua mengendalikannya dengan tali kekang kasih sayang yang terasa tak membebani untuk sang bocah remaja.

dan tiba pada saat dimana sang bocah harus meninggalkan kota yang membentuknya, pindah ke kota lain untuk memulai petualangan baru. meninggalkan kota yang selalu didatangi banjir, selalu macet, polusi disegala hal, kota pengap, dan hal-hal yang negatif (memang sangat sedikit yang positif), walau sang bocah sudah menganggap kota ini orang tua ke tiga setelah ibu bapaknya. menetap beberapa tahun di kota yang ia tak tahu peta kekuatanya.

sesekali ia kembali ke kota asalnya, namun semakin sering ia kembali, semakin ia merasa asing di kota asalnya. semua berubah cepat. tak ada lagi petualangan masa remajanya, hilang entah di ambil siapa. tak ada lagi yang merindukannya selain keluarganya, tida sampah, tidak sungai yang kini menjadi pekat, tidak juga sang atmosfer yang makin menghitam. semuanya asing. ia sangat rindu saat-saat menjadi bocah dulu. entah bagaimana ia mengembalikannya. ia cuma berharap mempunyai secuil bekas dari kejayaan-kejayaan masa indah antara dirinya dengan JAKARTA.

No comments:

Post a Comment