Tuesday, October 11, 2011

CFD Dago

                Peristiwa kantin di sisi danau telah lama terlewati dan tak ku sangka-sangka ternyata… amat manis. Ditutupnya lakon kesalahpahaman kemarin dengan senyum cair khas putri Lombok yang tersipu ketika angin menyapa. Di hari dimana aku melihatnya kembali, rambutnya dikuncir kuda, hingga kelihatan tengkuknya. Berbaju warna jeruk, bertraining hitam, berspatu sport, dan diputarnya vokal-vokal ceria. Tubuhnya langsing, walaupun dia menganggap itu terlalu kurus, tapi aku menyukainya. Aku berusaha meyakinkan dia kalau semua itu ciptaan Tuhan dan tak pantas kita malu akan anugerahNya.
“Ga usah ga pedean gitu lah”, kataku meyakinkannya. Aku tidak mau dia berubah. Wajahnya lebih putih, lebih bersih dari yang pernah kutemui. Di tengah keramaian aku mencari bekas jerawat yang sangat kurindu, yang ternyata telah hilang entah dimakan produk kecantikan macam apa. Its ok, overall dia semakin ayu. Matanya masih sama, sayu seperti orang yang belum tidur. Memang, dia tipe wanita yang sulit tidur.
Samar-samar aku mendengar alunan lagu leslies-happy entah dari mana. Mungkin dari sound system yang terlihat berjajar di sepanjang Jalan Djuanda, atau mungkin hanya aku yang mendengarnya karena suara itu berasal dari dalam diriku? Masa bodoh, yang penting suara itu datang di waktu yang tepat. Bagai adegan di film CAS, dia bergerak lambat, seraya tersenyum lucu menatapku.
           
            Pagi itu kami ke Dago menikmati udara minggu pagi yang sejuk segar bersama ribuan warga Bandung lainnya, ikut meramaikan acara car freeday. Bagai mandi air hangat setelah dua minggu berjibaku di hutan belantara, hang out pagi itu membakar kembali semangatku yang semakin hilang akibat peristiwa kantin sisi danau.
Kami melihat seorang wanita mengenakan kaos bertuliskan salah satu merek minuman keras terkenal di Indonesia, lalu dia berkomentar “Kalau di Lombok namanya brememe…”. Tak ayal aku pun terbahak mendengar kosakata yang unik. ”Brememe…ya, brememe”, suatu kosakata yang mungkin suatu hari nanti akan jadi trend perbincangan sebuah kalangan terbatas dimana ada aku di situ. Pagi itu dia lebih ayu, lebih segar, lebih cair, ingin sekali aku mengulang setiap detik yang terukir dihari itu. Meskipun pagi itu langit Dago mendung, namun langit hatiku serta merta cerah bertabur kupu-kupu dan bunga-bunga yang bernyanyi. Hah… sungguh…
           Pagi berganti siang, siang berganti malam, malam pun berubah menjadi pagi kembali. Hari pun berganti tak bisa dihindari. Dan hariku masih terus diisi senyum berkepanjangan akibat pagi itu. Pagi tanpa polusi dan sakit hati. Emosi tak terkontrol, rasanya ingin tiap detik berada di dekatnya, mengatakan apa yang hati ini rasakan, sungguh kenikmatan yang menyiksa. Dan tak bisa ku hindari, antara sadar dan tenggelam, akhirnya aku merangkai kata-kata rindu kepadanya. Suatu tindakan yang riskan, bisa berakhir bagus, atau malah akan menjadi awal dari kekecewaan. Tak seperti yang kuharapkan, responnya sama seperti waktu di kantin, standar. Kutampik semua prasangka, dan aku tetap tersenyum. Sampai pada suatu malam aku menyapanya lewat barisan kata-kata dari alat komunikasi elektronik, sekali lagi mengajaknya “keluar” kembali. Ku teliti setiap jawabannya. Dia menolak ajakanku. Ini pertama kalinya dia menolak, tapi ini bukan pertama kalinya aku mendapat penolakan sehingga aku bisa membedakan makna setiap jawaban. Dan akhirnya aku tiba di suatu persimpangan. Apa yang dia mau? Harus apa aku? Benarkah?
Malam itu gerimis, tak terbendung. Hatiku gemetar, haruskah? Ataukah…? Seorang teman berada di sebelahku. Dia menyarankan sesuatu yang tak ingin ku lakukan. Dia melontarkan beberapa pemikiran yang tidak aku duga ternyata memang masuk akal. Seorang teman datang lagi. Nada yang sama dia nyanyikan padaku. Benarkah apa yang mereka katakan? Bodohkah aku? Aku bingung, aku di persimpangan. Aku tidak bisa memilih, lebih tepatnya aku tidak mau memilih.
                Bukan, bukan dia yang salah. Ini salahku. Aku yang tidak tahu diri, berani-beraninya aku menaruh bibit harapan di taman hatinya. Aku hanya bunga bakung, dia bak taman istana raja. Pantaskah? Aku lenyap, untuk mendengar lelucon pun aku tak bisa. Membalas senyum orang lain pun aku tak sanggup. Sempat ku ambil jalan pintas, “orang tua”.  Ya, “orang tua” yang di kombinasikan dengan “super”. Cukup membantu, tapi harus selalu seperti itukah? Aku tersesat, aku butuh jalan keluar.
Semua pemikiran yang datang menyesakkan. “Dasar pemikiran”, aku memaki kepalaku sendiri yang sesak dengan pemikiran-pemikiran tersebut. Atau memang hanya sebuah pemikiran? Ya, sebenarnya yang aku inginkan adalah kekosongan pikiran, tanpa perlu memikirkan apapun. Saat ini aku tidak mau berpikir, berharap, bahkan bermimpi. Hanya satu yang ingin kulakukan sekarang. Ya, sangat ingin. Aku ingin mengeluarkan semua kata-kata yang selama beberapa bulan ini terbentuk dan menunggu untuk dikeluarkan. Aku ingin mengatakannya. Ya, semuanya. Tanpa harap, tanpa jawaban, tanpa nada, hanya ingin dia tahu. Semoga keajaiban singgah di hari itu. Dan aku harus tetap berdiri, tanpa peduli apapun yang terjadi nanti.

No comments:

Post a Comment