Friday, October 7, 2011

awan rinjani part 1

puncak rinjani dilihat dari jalur sembalun
Jauh sebelum hari itu, semua telah dipersiapkan. Persiapan perlengkapan, logistik, sampai kronologis sudah menjadi menu wajib kami sebelum berangkat ke lapangan. Perjalanan ini menyimpan prestige tersendiri untukku. Rinjani, siapa tak kenal gunung itu? Gunung setinggi 3765 mdpl yang indah dan selalu mesra menyapa hasrat para pendaki. Terlebih gunung ini terletak di Lombok, pulau yang sangat eksotis yang menyimpan sensasi keindahan yang misterius. Tak ayal kamipun rela menempuh perjalanan jauh dari bandung melintasi jawa dari barat hingga ke timurnya, melewati selat bali, melampaui pulau dewata, dan akhirnya tiba di Lombok.
 Kami menggunakan transportasi darat untuk menuju ke sana. Berawal dari menaiki kereta api dari bandung ke yogyakarta seharga Rp 28.000,00. Lalu menyambung sampai banyuwangi dengan harga tiket kereta Rp. 34.000,00. 24 jam sudah kami berada di kereta api. 15 menit berjalan kaki dari stasiun Banyuwangi kami telah sampai di pelabuhan Ketapang. Melewati selat Bali dengan kapal ferry berharga tiket Rp. 10.000,00, kami tiba di Bali. Perjalanan dilanjutkan menggunakan bis, kami membayar Rp 35.000,00 per orang untuk sampai ke Padang Bai, pelabuhan sisi timur Bali. Kami singgah sebentar di rumah seorang kawan di Mataram untuk mempersiapkan diri, dari belanja logistik sampai meregangkan otot. Transportasi darat yang sambung-menyambung yang melelahkan termakan oleh keceriaan dan misteri. Ya, misteri yang tak dapat ku jelaskan di lembaran ini.
tim

Malam sebelum berangkat kami saling bergurau di rumah seorang sahabat tempat kami menginap selama di Lombok, “Rinjani boy, Rinjani”. Deru semangat yang tak sabar bagai pembalap yang berjajar menunggu lampu hijau tanda balapan dimulai menyala. Mengira-ngira keindahan macam apa yang akan kami saksikan di gunung yang kami rindukan selama ini. Aku tak nyenyak tidur walaupun ini bukan gunung pertama yang ku daki, entah yang lain. Hingga akhirnya pagi menjelang. Setelah menyantap makan pagi mini bus pengantar kamipun tiba. Bus itu, bus yang kami sewa seharga Rp 700.000 yang uangnya kami himpun dari anggota tim yang berjumlah 16 orang. Bus itu melaju menyusuri jalan-jalan yang berujung di sembalun, pos pendakian, awal sejarah kami.

jalur sembalun
Setelah registrasi tiket masuk seharga Rp 10.000,00 dan mengisi air, langkah pertamapun terjadi. Langkah demi langkah di padang rumput sembalun yang berwarna kuning kecoklatan. Kami berjajar gagah bak serdadu yang hendak perang, dengan ransel-ransel 80 liter di punggung, dengan sepatu-sepatu bersol kuat yang mampu mencengkram jengkal tanah yan dipijak. Masih landai, jalur yang kami lalui dihari pertama belum memaksa kami untuk mendaki, namun beban yang kami bawa membuat kami cukup lelah, maklum packingan sama sekali belum dibongkar. Sesekali para turis asing melintas, kebanyakan mereka turun dan di sertai porter. Dengan kata-kata sederhana kami menyapa mereka, “hai mister, where do you come from? Is there beautiful?” Kami ingin membuktikan kalau Indonesia negeri indah yang manusianya ramah.

pos 2
Hari mendekati senja, kamipun memutuskan beristirahat di pos 2 yang memiliki sebuah shelter. Langit malam menyajikan panorama yang sangat indah. Begitu cerah disertai awan tipis yang sesekali melintas. Tak terhitung berapa jumlah bintang yang terbit malam itu. Sangat banyak bagai taburan coklat bubuk dalam segelas cappuccino hangat. Akupun melihat peristiwa yang jarang terjadi di hidupku. Bintang jatuh ku lihat dua tiga kali melintasi camp. Sungguh keindahan yang, ah… entah bagaimana aku mengatakannya. Setelah makan makanan khas orang camping, kami berkumpul mengelilingi api unggun sambil menyeruput kopi panas bergiliran ditemani lintingan tembakau serta tawa canda yang hangat menambah sensasi keindahan yang sangat menyenangkan.

sunset plawangan sembalun
Mentari pagi akhirnya menampakkan senyumnya. Menandakan kami harus berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Target kami adalah plawangan sembalun. Satu pos yang terdekat dengan puncak. Jalur yang kami lalaui semakin menanjak. Suasana jalur dari pos 2 hingga pos 3 (plawangan sembalun) didominasi padang rumput yang gersang. Hanya sedikit pohon cemara kami temui. Di depan kami terlihat tiga bukit yang menyambung, para pendaki mengenalnya sebagai bukit penyesalan. Ya, karena bukit itu terasa tak ada ujungnya dan membuat pendaki putus asa. Kami berjalan beriringan. Apabila yang depan merasa yang belakang terlampau jauh, mereka menunggu sambil istirahat. Begitu seterusnya, susul menyusul. Saat itu Rinjani sedang ramai-ramainya. Entah berapa puluh turis asing dan lokal berpapasan dengan kami. Hingga siang menjelang sore kami belum juga sampai di plawangan sembalun. Kami terus berjalan, dan akhirnya kami melihat biru diantara hijau. Benar, itulah danau segara anak. Di tengahnya terdapat gunung kecil yang mengeluarkan asap. Gunung baru namanya. Sungguh indah lukisan dari tangan Sang Pencipta segala.

danau segara anakan mengintip
Dari tempat itu sudah terlihat plawangan sembalun. Ramai sekali nampaknya. Aku dan beberapa anggota tim bergegas mencari tempat mendirikan tenda, sementara yang lain ku tinggal di belakang. Alhamdulillah, kami mendapat tempat disana. Tempat yang jika sore tiba sunsetnya begitu indah. Kembali ku bersyukur bisa melihat keindahan ini. Setelah semua datang, kami bergegas membuat camp. Angin begitu kencang hingga membuat frame dome melengkung. Kami semua merasa sangat dingin. Memasakpun sulit api trangia dan paraffin tertiup oleh angin. Dengan sabar kami melakoni kegiatan memasak ini. Setelah beberapa saat yang terasa lama, akhirnya kami makan lalu tidur di dome masing-masing. Kami tidak tahan jika harus di luar terlalu lama. Malam itu telah bulat keputusan tim untuk summit attack besok pukul 2 pagi.

puncak mahabiru
Aku tidur nyenyak, sangat nyenyak hingga tak sadar teman-teman sudah sibuk menyiapkan summit attack. Aku terbangun dan ikut larut dalam kesibukan itu. Perbekalan telah siap, anggotapun telah lengkap, ayo jalan. Jalan menanjak menanti kami di depan. Angin kencang bercampur debu dari jalan yang berpasir menemani kami sepanjang jalan. Sangat berat berjalan di pasir. Naik tiga langkah turun selangkah. Anggota terbagi, ada tim belakang untuk menemani anggota yang lambat dan tim depan. Aku di tim depan. Jalan semakin tidak wajar, terus menanjak dan makin berpasir. Tapi dalam hati bertekad, aku harus menjelangnya. Ya, dia, sunrise. Matahari sudah mengintip, aku mempercepat langkahku. Akhirnya aku tiba di puncak tepat saat matahari setengah muncul. Puncak yang disisi selatannya terlihat danau segara anak yang biru, di sebelah timurnya terdapat sajian sunrise dan awan yang berarak bagai domba-domba yang berjajar. Terasa semua beban hilang, jiwa melayang, bagai melihat surga. Aku berteriak, “Rinjani, aku menaklukanmu!”. Kunikmati puncaknya dan sunrisenya dengan hisapan rokok. Ah, betapa nikmatnya hisapan rokok yang terakhir di puncak Rinjani dan di temani sunrise. Kami menyanyikan lagu Indonesia Raya di puncak Rinjani. Di tengah-tengah belasan warga asing. Biar mereka tahu betapa rakyat rakyat Indonesia mencintai negeri tercintanya. Tubuhku merinding campur haru menyanyikannya. 

No comments:

Post a Comment