Wednesday, September 21, 2011

Batu, kabut, dan purnama tebing sepikul

Dan batu besar yang disinari pesona rembulan malam itu adalah tujuan kami. Hanya sebuah onggokan batu sangat besar yang terbentuk dari isyarat alam selama berjuta-juta tahun. Yang terjadi untuk memberi tahu kita kebesaran Tuhan yang maha bisa segalanya. Tapi bagi kami peserta Perjalanan Wajib Rock Climbing, ini bukan sekedar batu biasa. Batu inilah yang akan menjadi bagian sejarah dari hidup kami yang sesaat. Batu yang mengajarkan kami tentang arti kerja keras, keberanian, dan kematangan berfikir yang dibalut dengan indahnya persaudaraan dan genggam tangan kebersamaan. Batu yang akan menjadi cerita bagi anak cucu kami nanti tentang kebesaran Tuhan sebagai pengantar tidur bagi mereka.


Tebing Sepikul

Batu itu adalah Tebing Sepikul. Sebuah tebing yang terletak di kawasan karst Pulau Jawa tepatnya di Desa Watuagung, Kecamatan Watulimo, Trenggalek, Jawa Timur. Nama tebing itu diambil dari kata “pikulan” yang sejarahnya adalah batu itu merupakan pikulan dari seorang begawan pewayangan – yaitu Semar – yang jatuh ke bumi dan membentuk sebuah gunung batu. Berjenis batuan andesit di tengah-tengah kawasan karst dengan tinggi sampai puncaknya sekitar 350 meter dan lebar yang cukup luas, tebing ini menjadi langganan para pecinta panjat tebing untuk mendakinya. Terlebih ketika momen kemerdekaan Indonesia, tebing ini menjadi media pengibaran bendera merah putih yang sangat besar.

Waktu itu pun tiba. Waktu di mana hari pertama pemanjatan akan dimulai untuk kami. Berbekal dengan persiapan yang matang, langkah kakip un mantap menuju bibir tebing. Segala peralatan yang diperlukan dalam pemanjatan sudah terpasang di hardness.  “On bellay”, suara itu menjadi aba-aba untuk leader naik. Suara dari Toshio itu pun mengiringi langkah pertama Astacala menapaki tebing yang berkategori big wall tersebut. Runner demi runner melekat di permukaan tebing. Runner tempat para peserta perjalanan menggantungkan bukan hanya sekedar tubuh mereka, tapi juga nyawa dan harapan mereka.

Perut mulai lapar, matahari terik membakar segenap tenaga kami. Santap makan siang menjadi hal yang harus. Bersantap di ketinggian sekitar 45 meter di hari pertama merupaka pelajaran paling berharga. Makan dengan segala ketidaknyamanan membuat kami mengerti betapa berharga kenyamanan-kenyamanan yang dimiliki di bawah sana dan di hari-hari kami. Tenaga terisi, rasa lelah berkurang, saatnya menyematkan runner demi runner lagi. Mentari yang terik mulai meredup. Himalayan style yang kami anut menggiring kami turun ke bawah untuk melewati malam seiring dengan turunnya mentari di barat. Malam datang, purnama pun kembali menampakkan diri diiringi dinginnya kabut.


Memanjati Tebing Sepikul


Hari kedua pemanjatan tak ubahnya seperti hari pertama. Namun seorang teman tidak sanggup lagi melanjutkan. Seorang teman bertubuh tinggi itu Maringga namanya. Tubuhnya lemah dan ia turun ke bawah. Keputusan yang tepat sebab jika dipaksakan mungkin kondisinya akan lebih buruk. Di hari itu hanya sebuah runner yang tersemat dengan kokoh. Kami lelah, tapi semangat kami tak lekang.

Hari ketiga, saatnya cleaning. Saatnya membersihkan muka tebing dari pahatan piton dan tempelan runner kami. Setelah memanjat setengah hari dan mencantolkan sejumlah runner, cleaning dimulai. Rappling tiga tali kami andalkan untuk menuruni ketinggian 85 meter itu. Perlahan kami turun meninggalkan sisi batuan yang kami capai. Meninggalkan sebuah harapan akan ada Astacala berikutnya yang ke sana bahkan melebihi kami.
Tiga hari sudah kami bergelut dengan batu, tali, dan berbagai macam alat panjat. Rencana operasional dan kondisi mengisyaratkan untuk menyudahi kegiatan. Namun puncak masih belum kami capai. Rerumputan yang menggantung di puncak tebing belum kami sentuh. Menggantung seperti harapan kami semoga penerus Astacala selanjutnya bisa meneriakan Astacala di pucuk tebing ini. Dan semoga teriakan itu tak akan pernah berhenti. ASTACALA…!!!

suasana basecamp

No comments:

Post a Comment