Wednesday, September 21, 2011

sepenggal rasa dari barak pengungsian


Bencana alam adalah hal yang sama-sama tidak kita inginkan. Mungkin bencana adalah akibat kesalahan manusia, mungkin juga hukuman dari Tuhan untuk manusia, atau bisa jadi merupakan teguran dari sang pencipta. Terlepas dari mengapa bencana itu terjadi, kodrat kita sebagai manusia adalah membantu saudara kita yang mengalami kesusahan.
            Bencana alam yang silih berganti terjadi di negeri ini mengakibatkan jutaan orang kehilangan harta benda bahkan nyawa. Solidaritas muncul dari berbagai kalangan. Bantuan dalam berbagai bentuk terus mengalir tidak ketinggalan para relawan. Orang-orang berhati ikhlas yang senantiasa rela mencurahkan keringat, waktu, dan segala yang bisa mereka berikan untuk saudara mereka yang dilanda musibah.
relawan posko Gunungpring
           
Tapi apakah kita pernah memikirkan apa sebenarnya yang terjadi dibalik kata relawan? Membantu sebisanya kemudian pulang? Mungkin. Atau hanya mencari nama agar dikatakan peduli? Bisa saja. Semua kembali pada niat awal mereka. Membantu, pamer, wisata, atau benar-benar ikhlas. Toh pada akhirnya mereka tetap meringankan derita para korban.

            Tapi relawan bukan hanya soal tenaga dan materi, tapi juga hati. Rasakanlah penderitaan para pengungsi, mereka bukan hanya membutuhkan bantuan fisik tapi juga mental. Bagamana mereka harus bangkit dari keterpurukan dan memulai kehidupan mereka yang baru yang mungkin berbeda dari kehidupan semula. Mungkin inilah salah satu tantangan bagi relawan.
            Pelan setelah beberapa hari hidup bersama pengungsi perasaan menyatu akan timbul. Cerita-cerita yang mungkin kita tidak sangka sebelumnya, senyum senyum kecil mereka, dan rasa saling memiliki akan perlahan timbul. Mereka merasakan kita adalah keluarga mereka. Tidak heran jika air matapun sering kali menetes tanpa di sadari.
            Pun diantara sesama relawan tak jauh beda rasanya. Bahu membahu, curahan hati, celoteh-celoteh kecil, dan jabat tangan hangat membuat kita tak peduli lagi kita dan mereka dari organisasi mana, latar belakang, dan tujuan mereka. Semua larut dalam Susana kebersamaan yang tersaji di dalam suasana mengharukan lokasi pengungsian. Secangkir kopi yang diminum bersama, sebatang rokok yang di hisap bergantian, dan di selingi nyanyian membuat nyaman suasana duduk bersama antara pengungsi dan relawan.
            Saat tiba waktunya akhir tugas, saatnya berpisah dengan mereka. Isak tangis anak-anak yang di tinggal pengasuhnya selama di pengungsian menjadi pemandangan tak terlupakan. Jabat tangan persaudaraan dari pengungsi tak akan pernah hilang dari ingatan. Keceriaan saat anak-anak bermain, bau dapur umum yang khas, obrolan ringan para pemuda, akankah di rasakan kembali? Entah kapan lagi kami para relawan bertemu kalian lagi. Teringat sebuah kalimat sahabat “ yang terberat bukan saat datang, tapi pada saat pergi “. 

No comments:

Post a Comment