Wednesday, September 21, 2011

kantin di sisi danau


                Hari itu, hari yang telah aku rencanakan di balik hari-hari sebelumnya. Hari yang aku tunggu-tunggu dimana akan ada suatu detik dimana aku akan melihat kembali bekas jerawat di pipinya yang samar tertutup oleh senyum panjangnya. Malam sebelumnya dia telah mengatakan padaku akan menemuiku di tempat yang amat ia kuasai. Keluar dari wilayah yang aku miiki. Mendadak malam dengan suasana standar itupun menjadi seperti malam di sierra. Bagai kafein yang tumpah di kedua mataku dan membuatku lama sekali sampai pada bawah sadarku. “Apaan ya yang gua omongin besok?, pake baju yang mana ya?” dan beribu pertanyaan lain yang tak satupun kutemui jawabannya. Hanya bisa berharap filosofi air mengalir membawa diriku lebih dalam masuk ke ruang sanubarinya.
                Pagi itupun tiba, diiringi gerimis yang ternyata cipratan air dari jemuran kamar di atasku. Diimbangi dingin yang khas dari kota kembang bandung. Bergantian keluargaku mandi. Keluargaku sengaja datang ke bandung untuk menyaksikan putra keduanya yang tidak lain adalah adikku wisuda. Setelah semua selesai, akupun mengantarkan rombongan keluargaku yang sudah seperti orang-orang yang akan menghadiri pesta pernikahan ke kampus dimana adikku akan menerima gelarnya dan kebetulan itu adalah kampusnya. Ya, ke kampusnya. Kampus dengan desain modern khas kampus berbiaya mahal masa kini. Kampus dimana aku akan bertemu dengan bekas jerawat itu.
                Jam 9 pagi, tapi tidak sedikitpun handphoneku bergetar. Dan tak ada sama sekali tanda dia akan datang. Di sebuah kantin berlatar danau dengan kursi kayu berdesain modern dan tatanan apik jaman sekarang aku menunggunya. Menunggu tanpa harap dengan berkedok menunggu keluargaku menyelesaikan acara mereka. Detik berjalan terus, dan aku masih ditemani angin danau dan orang-orang yang kulihat asing. Dengan rasa putus asa ku ambil handphone dan terpaksa menulis sms, “ Nda, di kampusmu kantin cuma yang di bawah ya?”. ya, namanya Nanda Namira Tiarninnda Pratiwi. Aku yakin dia tahu, bahkan semua wanita di dunia inipun akan dengan mudah tahu kalau ini basa basi. Cukup lama aku menunggu, dan akhirnya handphoneku bergetar juga. “ iya, kan Cuma satu hahaha…..sory ya saya baru bangun”. Kirakira seperti itu balasannya. Aku tidak yakin, karena saat aku menulis ini, semua sms bahkan nomornyapun tak adalagi. Entah setelah beberapa sms lagi di kembali membalas, “kamu masih di kantin? Saya didepan counter 5 nih”. Dari kejauhan kulihat dia bersama seorang wanita yang tak kukenal. Kuajaklah saudaraku yang juga menunggu keluargaku.
                Dari awal melihatnya aku sudah merasa aneh, semilir angin di sekitar danau berubah. Dengan menghimpun sedikit demi sedikit nyaliku, aku menyapa. Dia membalas dengan sangat standar. Aku langsung duduk di sampingnya. Perasaan bercampur aduk antara malu, senang, dan aneh. Sekilas kulihat bekas jerawatnya telah hilang dan membuat senyumnya bertambah manis. Namun rupanya sikapnya berubah, bertolak belakang dengan wajahnya yang semakin anggun. Kuhirup udara dalam-dalam walaupun tak kurasakan udar itu masuk. Ya, tak ada oksigen yang masuk. Kuawali pembicaraan tanpa prasangka apapun. “kebiasaan, hari gini baru bangun”, sapaku seolah aku tidak merasakan keanehan apa-apa. Di hanya tersenyum. Aku perkenalkan saudaraku disusul dirinya yang juga mengenalkan temannya. Sekilas tatapan tajam dari temannya mendarat telak di kepalaku. Tatapan yang pastinya bukan tatapan terbuka sebagai seorang teman.

                Kutanya semua yang aku ingin tanya. Ku coba berhumor sebisaku agar kulihat lagi senyumnya. Tapi usahaku sia-sia. Yang kutemui dan ku ajak bicara bukan lagi dia yang dulu. Dia yang menemaniku sampai pagi berchating ria, yang mau ku ajak ke goa sampai air terjun, yang berfoto dan bersikap imut di moko, yang dengan antusias bernyasar ria di kota bandung. Hah…, sebentar aku menghela nafas untuk kalimat selanjutnya. Dia…, dia yang membuatku melakukan perjalanan jauh hingga tiba di Mataram, kotanya. Dia yang kutemui di sana, berjalan jauh ke Senggigi, jauh kearah laut yang menyusut. Melintasi karang yang terlihat saat laut surut. Dia yang bersama denganku ke malimbu, melihat sunset yang setia berada di sisi kanan gunung Agung. Dia yang menemaniku menghirup segelas kopi panas dengan senyum indahnya. Dia…
                Jam menunjukan pukul sebelas siang. “saya kuliah dulu ya..”, katanya seraya menjinjing tasnya. Bersamaan dia pergi, anginpun kembali berhembus. Dia pergi, tapi tak begitu keadaannya dengan lukaku. Ya, aku terluka. Dia, dia yang selama ini menjadi inti dari hidupku. Dia yang menjadi semangatku untuk lepas dari lubang hitamku. Sampai detik ini aku masih tak tahu apa yang salah. Aku, dia, temannya, temanku, keadaannya, atau keadaannku?

No comments:

Post a Comment